ATIKAH (SEKETIKA TERGERAGAP, BANGUN, MENGEJAR KE JENDELA, BERTERIAK)
Tolong! Siapa
saja di situ, tolong! Saya di sini! Tolong! Ada manusia di sini. Perempuan.
Saya. Tolong! Jangan pergi! Berhenti! Datanglah, datang! Lekas! Saya di sini.
Saya butuh pertolongan. Berhenti! Dengar teriakan saya! Dan datang ke mari!
Jangan pergi … tolong .. jangan pergi .. tolong ..
(LEMAS.
TERKULAI. KATA-KATA TERAKHIRNYA NYARIS TAK TERDENGAR)
Tidak ada
yang sudi menolong saya. Tidak ada yang datang. Saya dilupakan.
Sudah berapa
lama saya disini? Tidak tahu. Sudah berapa lama saya disiksa, macam binatang?
Saya juga tidak tahu. Apa saya binatang?
Empat dinding
ini, hanya satu jendela berjeruji besi jauh di atas sana. Tembok yang tebal.
Tidak ada perabotan. Hanya tikar dan bantal. Tidak ada selimut. Saya tahu,
tidak mungkin lolos dari penjara ini jika tidak ada yang sudi menolong.
Mustahil saya selamat, jika tidak ada mukjijat.
(SEAKAN
MELIHAT BAYANGAN DI DEPANNYA)
Mudasir? Kamu
Mudasir? Bagaimana caranya kamu masuk kamar ini? Mudasir? Kenapa? Tidak kenal
saya lagi? Saya Atikah. Isterimu. Dulu, kamu mengantar saya ke Jakarta. Kita
berpisahan di Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng. Kamu cerita di surat, sehabis
mengantar saya kamu langsung pulang ke kampung mengurus sawah. Sampai setahun
lebih kita saling berkirim surat. Sesudah musibah datang, surat-suratmu tidak
datang lagi.
Jangan pergi,
Mudasir. Jangan tinggalkan saya. Apa saya sudah tidak punya daya tarik lagi?
Kamu dulu sering bilang saya cantik. Saya memang cantik. Kecantikan yang alami,
tanpa gincu dan bedak. Kamu suka saya apa adanya. Kamu sering bilang begitu.
Ini saya, Atikah. Saya tahu, penyiksaan ini bikin saya tidak secantik dulu
lagi. Kalau ada cermin di kamar ini, mungkin saya bisa segera tahu. Wajah saya
bisa saja sudah seperti gombal busuk. Bacin dan tidak layak dipandang-pandang.
Bikin jijik ya?
Tapi,
Mudasir, kamu menikahi saya lahir batin ‘kan? Kamu bukan hanya menikahi wajah
saya? Kalau memang benar kamu di sini, tolong saya. Keluarkan saya dari sekapan
ini. Lalu kita pulang kampung bersama-sama. Tidak perlu melapor kepada Police
Raja Diraja, tidak guna melapor kepada Menteri Tenaga Kerja. Kita warga negara
Indonesia, bukan warga negara Philipina. Beruntunglah mereka yang berasal dari
Philipina. Bahkan presiden mereka pun peduli kepada nasib para tenaga kerjanya,
terutama yang bekerja di manca negara. Kita? Kalau banyak uang, diperas sampai
habis tulang sumsum. Tapi kalau ada musibah, pura-pura tidak tahu, diabaikan.
Mudasir, itu
kenyataan. Kita binatang penghasil devisa negara. Sebutan pahlawan hanya
slogan. Bukan kenyataan. Cuma khayalan para birokrat yang baru menduduki kursi
jabatan. Agar kelihatan bekerja di mata atasan, dan disebut punya
kesetiakawanan yang kuat terhadap sesama warganegara.
Sudahlah,
Mudasir, bicara tentang kekacauan penanganan terhadap para TKW seperti saya,
selalu bikin dada seketika sesak. Lebih sesak lagi dada kita, karena kenyataan
yang terang benderang itu tidak pernah diakui sebagai kenyataan. Mengapa?
Karena mereka malas menanganinya. Tidak sudi tangan kotor dan enerji
dihamburkan. Ya. Karena tidak ada uang komisi yang berlimpah dalam setiap kasus
yang menimpa para TKW. Lagipula perlu kemampuan diplomasi agar pejabat-pejabat
kita dihargai oleh orang asing. Kenyataannya, para pejabat kita lebih sering
jadi bahan tertawaan diplomat-diplomat asing. Karena dianggap malas dan bodoh,
tapi sok pintar. Problem bahasa pun jadi hambatan. Mana bisa memenangkan
perkara jika pembahasan dilakukan dengan bahasa tarsan? Sebelum maju pun sudah
kalah lebih dulu. Akibatnya, kita yang selalu menjadi korban.
Dikorbankan.
Mudasir, ke
marilah, mendekat, agar kita bisa saling menyentuh. Mengapa tetap berdiri di
sudut itu? Di situlah tempat saya buang air besar dan kecil. Di ruang ini tidak
ada kamar mandi dan wc. Ini hanya sebuah kamar, entah tadinya dipakai untuk
kamar siapa. Dan mengapa saya sampai disekap di kamar ini, tidak bisa saya
tulis di surat. Mana mungkin berkirim surat? Saya tidak punya kertas, pulpen,
amplop, prangko. Di sini tidak ada apa-apa. Terang kalau siang karena matahari,
dan malamnya gelap pekat karena tidak ada lampu. Saya tersiksa, Mudasir. Tersiksa.
Mengapa tidak menolong?
Lihat,
bekas-bekas luka di sekujur badan? Sebelum dijebloskan ke dalam kamar ini, saya
dipukuli. Semua anggota keluarga majikan ikut memukuli. Pipi, dahi, kepala,
punggung, dada, perut, paha, dan semua anggota tubuh saya, jadi bulan-bulanan
mereka. Mereka memukuli saya dengan tangan, kepalan, kaki, tongkat besi,
setrikaan. Saya tidak berdaya, seperti bola disepak ke sana ke mari tanpa bisa
membela diri.
Saya
berteriak, menangis, bertanya, apa salah saya? Jawabannya hanya geraman dan
teriakan pula. Lalu pukulan lagi, bertubi-tubi. Apa salah saya, teriak saya?
‘Kamu Indon bangsat, bajingan, pencuri, maling, tidak tahu diri!’ Hanya
teriakan itu yang saya dengar. Kata-kata yang diteriakkan berulang kali. Saya
Indon. Bangsat. Bajingan. Pencuri, Maling. Tidak tahu diri. Apa salah saya?
Demi Tuhan, saya samasekali tidak pernah mencuri. Saya bukan maling. Tapi tidak
ada sidang pengadilan yang tidak memihak, supaya bisa diperoleh pembuktian,
saya bukan seperti yang mereka tuduhkan. Yang ada hanya ruang ini. Penjara ini.
Sesudah dipukuli, kepala saya ditutupi karung, lalu saya diseret. Sebelum pintu
dikunci, karung mereka buka dan ternyata, saya di sini. Dalam kamar ini. Sampai
sekarang.
Sudah berapa
lama saya di sini? Lihat! Luka-luka di sekujur tubuh saya sudah mulai
mengering. Bisajadi sudah lebih dari sebulan. Bagaimana saya bisa bertahan?
Mereka kasih saya makan dua kali sehari. Minuman di termos plastik yang bocor.
Saya makan minum dengan piring dan gelas yang kotor.
Mudasir, kamu
tidak akan bisa membayangkan perlakuan apa yang sudah saya terima selama ini.
Saya memang lebih pantas disebut anjing. Saya dianggap bukan manusia lagi.
Kekuatan hukum nampaknya tidak berdaya dalam hal ini, sebab aparatnya lebih
sering pilih kasih. Mana mungkin mereka membela saya yang anjing, Indon lagi.
Saya, yang datang hanya untuk merampok uang mereka. Tentu mereka akan lebih
percaya kepada sesamanya, yang sebangsa. Dan kaya. Bukan kepada anjing seperti
saya.
Tapi,
Mudasir, demi Tuhan, saya bekerja. Saya memperoleh upah karena saya bekerja.
Saya bukan pemalas. Saya bangun sebelum subuh. Membersihkan rumah, menyapu,
mengepel, mengelap perabotan. Saya mencuci, menyeterika, memasak, mengurus
taman. Saya sendirian di rumah sebesar ini. Pekerjaan baru selesai sekitar
pukul sembilan malam. Itu pun, tidak selalu begitu. Jika ada tamu, saya harus
melayaninya. Kadang saya memasak tengah malam, itu jika para tamu berminat
makan malam.
Tidak apa.
Semua saya lakoni dengan gembira dan ikhlas. Saya tahu diri. Sebagai pelayan,
yang datang dari tanah sebrang, saya tidak berani menuntut macam-macam. Yang
harus saya lakukan adalah bekerja dengan rajin. Tidak mengeluh. Semua kondisi
saya terima. Setahun saya terima gaji. Dan kamu tahu sendiri, Mudasir, sebagian
saya tabung, sebagian saya kirim ke kampung. Di dalam surat kamu menulis, sudah
menerima kiriman ringgit saya. Kamu juga menabung. Kontrak kerja saya lima
tahun. Saya bertekad, di ujung tahun ke lima, saya pulang bawa ringgit sebanyak
mungkin agar kita bisa membeli beberapa petak sawah, untuk modal hidup di masa
depan.
Pada bulan
ketigabelas, suatu malam, majikan lelaki mendatangi saya. Nampak mabuk dia.
Waktu itu, sekitar pukul sebelas. Nyonya majikan dan anak-anaknya menginap di
rumah famili di luar kota. Jadi, di rumah sebesar ini, hanya ada kami berdua.
Dia masuk kamar, menutup pintu, duduk di pinggir ranjang dan menatap saya
dengan diam. Buru-buru saya duduk di kepala ranjang, balas menatap dia dengan
mata heran. Saya sampai tidak sempat bertanya, lebih tepatnya tidak berani
karena terperanjat. Ya, saya tidak sempat menanya apa maksudnya masuk kamar
saya. Tapi sebagai perempuan, naluri saya bilang, ada sesuatu yang tengah
menggoda majikan saya itu. Dan saya mulai ketakutan. Keringat dingin mengucur
deras.
Kemudian dia
berbaring. Dan dengan isyarat tangan, menyuruh saya berbaring di sampingnya.
Saya menggelengkan kepala, tubuh gemetaran. Dia melotot dan kembali memberi
isyarat dengan tangan agar saya segera berbaring di sampingnya. Saya tetap
menggeleng, dan duduk meringkuk di sudut dengan waspada. Dia bangkit. Saya
pikir dia berniat menerkam saya. Saya sudah siaga. Saya siap memukul jika hal
itu dia lakukan. Tapi, untunglah, hal itu tidak terjadi. Dia bangkit, berdiri,
menatap saya dengan mata menyala, lalu berjalan menuju pintu, membuka pintu,
menutupnya lagi dengan keras. Terdengar langkahnya semakin menjauh.
Saya menghela
nafas panjang dan menangis. Saya bersyukur kepada Tuhan karena malam itu tidak
terjadi apa-apa atas diri saya. Ya, saya selamat dari perkosaan majikan. Saya
mengunci pintu dan menangis sampai subuh.
Ah, Mudasir,
saya baru sadar, barangkali, itulah satu-satunya kesalahan saya: menolak hajat
majikan. Itu makanya saya ditendangi, dipukuli dan disiksa macam begini.
Siksaan memang tidak segera saya alami. Maksud saya, sampai bulan kelimabelas,
keadaan masih berjalan normal. Tapi, di bulan ke enambelas, majikan lelaki saya
mulai mengeluh kehilangan uang. Dan siapa lagi yang bisa dituduh kalau bukan
saya? Pelayan yang miskin, Indon lagi, setara anjing. Pukulan-pukulan dan
tamparan mulai saya terima dari nyonya majikan. Kadang dari anak lelaki mereka.
Saya diam saja, dan tentu tidak sudi mengaku sebagai pencuri. Jelas. Saya tidak
mencuri. Saya rajin sembahyang. Saya selalu ingat surga dan neraka. Saya takut
hukuman akhirat. Dan saya sangat percaya kepada hukum sebab-akibat .
Pada bulan
keenambelas itulah, nasib masa depan saya ditentukan. Anak lelaki majikan
mengaku kehilangan uang, begitu juga anak perempuan mereka. Lalu majikan
lelaki, kembali mengeluh hilang uang lagi. Kali ini jumlahnya banyak. Sayalah
itu, kambing hitam yang harus menanggung akibat. Ya. Saya dipukuli lagi.
Bertubi-tubi. Dengan setrikaan panas, karena waktu itu saya sedang menyeterika.
Saya berteriak kesakitan. Dan di hari itu pulalah saya dihajar, diseret, lalu
disekap di kamar ini. Memang aneh. Ya, penyiksaan ini sungguh sangat tidak
jelas konsepnya. Tapi kenyataan. Penyiksaan ini memang jelas-jelas bukan
impian. Saya mengalaminya.
Tapi ada apa
sesungguhnya dengan majikan saya? Ada apa sesungguhnya dengan mereka, bangsa
yang sekarang ini banyak menampung para pekerja asal Indonesia? Dulu mereka
betul-betul saudara serumpun, senantiasa menjaga sopan santun, sangat
menghormati dan banyak belajar dari kita. Mereka pernah mengangkut banyak
cendekiawan kita untuk mengajari mahasiswanya, tentu, dengan iming-iming gaji
yang sangat besar.
Dalam tempo
pendek mereka menjadi bangsa yang kaya-raya. Jadi, tak perlu lagi belajar dari
Indonesia. Mereka jauh lebih maju. Lalu mereka mulai menanam modal, di
mana-mana dan menerima berbagai jenis modal asing pula. Puluhan ribu pekerja
dari luar negri dibawa masuk, karena memang dibutuhkan. Tapi, pekerjaan kasar
bukan lagi bagian bangsa ini. Para imigranlah yang mengerjakan. Bagian mereka,
terutama, memikirkan bisnis dan kemajuan diplomasi politiknya. Sambil,
mencaploki kawasan negri tetangga, selangkah demi selangkah. Mereka berani
membuka kasino, dan hasil pajaknya yang besar dipakai untuk membangun negri.
Semua tahu, sebagian besar para penjudi datang dari Indonesia. Artinya, uang
berjumlah besar mengalir dari Indonesia, dan, untuk membangun negri jiran.
Sukses
bertubi-tubi, bikin percaya diri mereka semakin besar. Lahir banyak orang
pintar, diplomat handal yang disegani barat. Tapi mereka sadar tidak memiliki
kebudayaan dan kesenian asli. Semua bersumber dari negri tetangganya,
Indonesia. Maka, dengan uang, mereka mulai mengangkut para seniman. Tugasnya
mencipta kesenian baru agar bisa disebut asli asal dari tanah mereka sendiri.
Tak puas dengan itu, mereka nekad pula mencuri berbagai jenis kesenian, flora
dan fauna. Semuanya, dengan sangat yakin diaku sebagai milik mereka. Kini,
mereka ibarat ‘orang kaya baru’ yang yakin bisa membeli apa saja. Lintang
pukang mereka membeli apa saja.
Jika saja
perkaranya berhenti sampai masalah curi-mencuri jenis kesenian, mungkin saya
tidak akan sesengsara seperti sekarang. Tapi mentalitas ‘orang kaya baru’ itu
sudah sedemikian meracuni hampir setiap orang di negri ini. Mereka yakin bisa
membeli apa saja. Mereka yakin, dengan uang, mereka berhak menyiksa siapa saja.
Para pekerja
yang bekerja untuk mereka, lebih sering dianggap sebagai budak yang layak
disiksa jika dianggap telah melakukan kesalahan atau tidak sudi menuruti hajat
seronok mereka.
Mereka tak
lagi takut kepada hukum. Bukankah uang mampu membungkam mulut hukum? Di zaman
modern seperti sekarang, mentalitas majikan yang berkuasa sepenuhnya atas para
pekerja, muncul lagi. Mereka mengibaratkan diri sebagai penguasa Romawi,
pemilik ribuan budak. Dan mereka merasa berhak untuk menyiksa atau membunuh
semua budaknya itu.
Mudasir,
mengapa diam saja? Kamu tidak percaya cerita saya? Demi Tuhan, saya bersumpah,
masih suci. Tidak ada lelaki lain yang berani menyentuh kehormatan saya. Dan
jika itu terjadi, saya bisa bunuh orang, atau bunuh diri. Itu tekad saya.
Lelaki satu-satunya bagi saya adalah kamu. Saya sesuci Dewi Sinta. Janganlah
kamu jadi Rama yang meragukan kesucian Sinta. Saya tetap setia dan sampai kapan
pun akan saya pertahankan kesetiaan itu, meski dengan resiko berkorban nyawa.
Percayalah kepada saya, Mudasir.
Jangan pergi,
jangan berpaling, jangan tinggalkan saya. Saya butuh kehadiranmu. Nyata atau
hanya khayalan, tidak penting lagi. Saya butuh kamu, biarpun kamu tidak nyata.
Kamulah satu-satunya harapan. Saya juga tahu, kamu marah karena dulu langsung
saya tinggal pergi untuk bekerja di negri ini, padahal kita menikah baru tiga
bulan. Tapi, itulah rencana saya. Mengumpulkan modal hidup, agar kita tidak
sengsara. Saya berharap kamu sudi memahami. Tidak mungkin di negri sendiri saya
mampu menggaet penghasilan sebesar saya bekerja di negri ini. Berapa gaji
paling besar seorang Pembantu Rumah Tangga di Jakarta? Di negri ini, saya bisa
memperoleh limakali lipat dari gaji mereka. Dan itu sangat menggiurkan.
Ya, betul.
Saya tahu, menggiurkan tapi dengan resiko yang sangat besar. Apalagi untuk
perempuan semuda saya. Saya, yang kamu sering bilang, cantik dan menarik. Saya
tahu. Tapi saya sudah menghitung semua resiko. Saya yakin bisa menahan setiap
godaan. Sebesar apa pun godaan itu. Ajaran agama jadi pegangan. Nasehat
orangtua. Dan terutama, ikrar pernikahan kita. Banyak tameng yang akan
membentengi saya sehingga saya tidak jatuh ke dalam maksiat. Lakon saya terjadi
dalam dunia nyata, bukan dalam dunia maya, bukan di layar putih. Saya Atikah,
dan saya bukan bintang film.
Mudasir,
bagaimana Mak dan Bapak? Mereka sehat-sehat? Encok Bapak sudah sembuh? Saya
pernah kirim uang, lumayan besar jumlahnya, bapak bisa berobat ke dokter dengan
uang itu. Membeli obat yang asli, bukan obat eceran di kios rokok. Asma Emak,
masih sering kambuh? Saya pernah kirim alat hisap, ingat? Alat itu sangat
bermanfaat jika asmanya kambuh. Pakai! Jangan ragu. Lagipula uang kiriman saya
juga sangat cukup untuk membeli tablet-tablet pencegah asma. Bukan tablet
kodian yang dijual murah, tapi obat paten dari dokter. Saya yakin, pasti
asmanya sembuh.
(TERDENGAR
LANGKAH ORANG)
Mudasir, kamu
dengar? Ada langkah orang, menuju ke sini. Tunggu sebentar.
(TERIAK)
Tolong. Siapa
saja di situ, tolong. Saya di sini. Ada orang di sini. Perempuan. Saya. Tolong.
Jangan pergi. Berhenti. Tolong saya. Tolong. Jangan pergi! Dengar teriakan
saya, dan datanglah ke sini. Saya butuh pertolongan. Jangan pergi .. tolong ..
tolong ..
(LANGKAH
SEMAKIN MENJAUH DAN HILANG. SEPI SEJENAK)
Tidak ada
yang sudi menolong saya. Tidak ada yang datang. Saya dilupakan.
Mudasir?
Mudasir? Di mana kamu? Kamu juga pergi? Mudasir. Mudasir. Kamu juga pergi.
Semua pergi. Saya ditinggal sendiri. Mana mungkin saya bisa bertahan? Saya
sudah habis. Tidak ada siapa-siapa lagi, tidak ada harapan. Bahkan bayangan
suami juga pergi, tega meninggalkan saya. Dia tidak sudi menemani saya lagi.
Dia meninggalkan saya, tanpa pesan ..
Saya rela
mati. Kalau memang saya harus mati. Tapi saya wajib menceritakan dulu semua
peristiwa yang saya alami ini. Entah kepada siapa. Ya. Kepada siapa saja yang
mau mendengar. Saya akan ceritakan sampai rinci. Sampai hal-hal paling kecil.
Yang salah harus menerima hukuman. Saya tidak rela mati tanpa orang tahu, apa
yang sebenarnya terjadi atas diri saya. Kesalahan saya harus dijelaskan.
Siksaan yang saya derita harus dijelaskan. Manusia dilahirkan dengan derajat
yang sama. Tidak ada manusia yang berhak menyiksa manusia lain. Nasib manusia
tidak bisa ditentukan oleh manusia lain. Hanya Tuhan Yang Maha Esa yang berhak
menentukan nasib manusia. Saya dianiaya tanpa sebab, tanpa penjelasan. Adilkah
itu?
Tapi terus
terang, saya lelah meminta tolong. Entah sudah berapa ratus kali saya berteriak
meminta tolong. Dan tidak ada yang datang untuk menolong. Apakah ada yang
merasa kehilangan saya? Sehari dua hari hilang, bisa dimaklumi. Tapi sebulan?
Itu seharusnya sudah bisa membikin masyarakat curiga. Bisa saja dianggap telah
terjadi pembunuhan.
Pembunuhan.
Apa yang saya alami bukan pembunuhan tubuh, tapi pembunuhan mental, pembunuhan
politik. Kita berkali-kali dianggap sebagai binatang, tidak punya wibawa.
Mengapa? Agar rasa percaya diri hilang. Dan kita dipaksa merasa hanya sebagai
bangsa pelayan, bangsa pembantu rumah tangga. Tak ada lagi kebanggaan, karena
kita lebih miskin dan lebih kacau dibanding negri jiran yang kaya raya
itu. Kita berkali-kali dilecehkan tanpa sanggup membela diri. Kita sering
diabaikan. Jadi bahan tertawaan. Kita sering dihapus dari peta dunia, tapi kita
tidak pernah merasakannya.
(BERTERIAK)
Tolong! Tapi
jangan tolong saya. Tolonglah kita semua. Kita di pinggir jurang. Bangun!
Tolong! Tolong! Jangan jadikan diri kita ongol-ongol!
CAHAYA PADAM
SELESAI