Dilahirkan
dari keluarga Kesultanan Yogyakarta, memiliki jiwa kepemimpinan dan
kepahlawanan. Hatinya yang bersih dan sebagai seorang pangeran akhirnya
menuntunnya menjadi seorang yang harus tampil di depan guna membela kehormatan
keluarga, kerajaan, rakyat dan bangsanya dari penjajahan Belanda.
Namun resiko dari kebersihan hatinya, ia ditangkap oleh
Belanda dengan cara licik, rekayasa perundingan. Namun walaupun begitu, beliau
tidak akan pernah menyesal karena beliau wafat dengan hati yang tenang, tidak
berhutang pada bangsanya, rakyatnya, keluarganya, terutama pada dirinya
sendiri.
Kejujuran, kesederhanaan, kerendahan hati, kebersihan hati,
kepemimpinan, ke
pahlawanan, itulah barangkali sedikit sifat yang tertangkap
bila menelusuri perjalanan perjuangan pahlawan kita yang lahir di Yogyakarta
tanggal 11 November 1785, ini.
Pangeran Diponegoro yang bernama asli Raden Mas
Ontowiryo, ini menunjukkan kesederhanaan atau kerendahan hatinya itu ketika
menolak keinginan ayahnya, Sultan Hamengku Buwono III untuk mengangkatnya
menjadi raja. Beliau menolak mengingat bunda yang melahirkannya bukanlah
permaisuri.
Bagi orang-orang yang tamak akan kedudukan, penolakan itu
pasti sangat disayangkan. Sebab bagi orang tamak, jangankan diberi, bila perlu
merampas pun dilakukan. Melihat penolakan ini, sangat jelas sifat tamak tidak
ada sedikitpun pada Pangeran ini. Yang ada hanyalah hati yang bersih. Beliau
tidak mau menerima apa yang menurut beliau bukan haknya. Itulah sifat yang
dipertunjukkannya dalam penolakan terhadap tawaran ayahnya tersebut.
Namun sebaliknya, beliau juga akan memperjuangkan sampai mati
apa yang menurut beliau menjadi haknya. Sifatnya ini jelas terlihat jika
memperhatikan sikap beliau ketika melihat perlakuan Belanda di Yogyakarta
sekitar tahun 1920. Hatinya semakin tidak bisa menerima ketika melihat campur
tangan Belanda yang semakin besar dalam persoalan kerajaan Yogyakarta. Berbagai
peraturan tata tertib yang dibuat oleh Pemerintah Belanda menurutnya sangat
merendahkan martabat raja-raja Jawa. Sikap ini juga sangat jelas memperlihatkan
sifat kepemimpinan dan kepahlawanan beliau.
Sebagaimana diketahui bahwa Belanda pada setiap kesempatan
selalu menggunakan politik 'memecah-belah'-nya. Di Yogyakarta sendiri pun,
Pangeran Diponegoro melihat, bahwa para bangsawan di sana sering di adu
domba Belanda. Ketika kedua bangsawan yang diadu-domba saling mencurigai,
tanah-tanah kerajaan pun semakin banyak diambil oleh Belanda untuk
perkebunan pengusaha-pengusaha dari negeri kincir angin itu.
Melihat keadaan demikian, Pangeran Diponegoro menunjukkan
sikap tidak senang dan memutuskan meninggalkan keraton untuk seterusnya menetap
di Tegalrejo. Melihat sikapnya yang demikian, Belanda malah menuduhnya
menyiapkan pemberontakan. Sehingga pada tanggal 20 Juni 1825, Belanda melakukan
penyerangan ke Tegalrejo. Dengan demikian Perang Diponegoro pun telah dimulai.
Dalam perang di Tegalrejo ini, Pangeran dan pasukannya
terpaksa mundur, dan selajutnya mulai membangun pertahanan baru di Selarong.
Perang dilakukan secara bergerilya dimana pasukan sering berpindah-pindah untuk
menjaga agar pasukannya sulit dihancurkan pihak Belanda. Taktik perang
gerilya ini pada tahun-tahun pertama membuat pasukannya unggul dan banyak
menyulitkan pihak Belanda.
Namun setelah Belanda mengganti siasat dengan membangun
benteng-benteng di daerah yang sudah dikuasai, akhirnya pergerakan pasukan
Diponegoro pun tidak bisa lagi sebebas sebelumnya. Disamping itu, pihak Belanda
pun selalu membujuk tokoh-tokoh yang mengadakan perlawanan agar menghentikan
perang. Akhirnya, terhitung sejak tahun 1829 perlawanan dari rakyat pun semakin
berkurang.
Belanda yang sesekali masih mendapatkan perlawanan dari
pasukan Diponegoro, dengan berbagai cara terus berupaya untuk menangkap
pangeran. Bahkan sayembara pun dipergunaan. Hadiah 50.000 Gulden diberikan
kepada siapa saja yang bisa menangkap Diponegoro. Diponegoro sendiri tidak
pernah mau menyerah sekalipun kekuatannya semakin melemah.
Karena berbagai cara yang dilakukan oleh Belanda tidak pernah
berhasil, maka permainan licik dan kotor pun dilakukan. Diponegoro diundang ke
Magelang untuk berunding, dengan jaminan kalau tidak ada pun kesepakatan,
Diponegoro boleh kembali ke tempatnya dengan aman. Diponegoro yang jujur dan
berhati bersih, percaya atas niat baik yang diusulkan Belanda tersebut. Apa
lacur, undangan perundingan tersebut rupanya sudah menjadi rencana busuk untuk
menangkap pangeran ini. Dalam perundingan di Magelang tanggal 28 Maret 1830,
beliau ditangkap dan dibuang ke Menado yang dikemudian hari dipindahkan lagi ke
Ujungpandang.
Setelah kurang lebih 25 tahun ditahan di Benteng Rotterdam,
Ujungpandang, akhirnya pada tanggal 8 Januari 1855 beliau meninggal. Jenazahnya
pun dimakamkan di sana. Beliau wafat sebagai pahlawan bangsa yang tidak pernah
mau menyerah pada kejaliman manusia
Sumber : http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/295-pahlawan/2657-pejuang-berhati-bersih
0 comments:
Post a Comment