Bagi teman-teman yang butuh file format MS Word / PDF bisa berikan email di kolom komentar, semoga bermanfaat......
( RUANG TAMU DI RUMAH RADEN RUKMANA KHOLIL)
RUKMANA : Eee ... ada
orang rupanya. O ... Agus Tubagus, aduh, aduh, aduh ... Sungguh diluar
dugaanku. Apa kabar? Baik ... ??
(MEREKA
BERSALAMAN).
AGUS : Baik,
baik, terima kasih, bagaimana dengan Bapak?
RUKMANA : Baik, baik.
Terima kasih atas doamu, dan seterusnya ... duduklah. Memang tidak baik
melupakan tetanggamu, Agus. Ooo, tetapi kenapa kau pakai pakaian resmi-resmian?
Jas, sapu tangan dan seterusnya ... ... Kau hendak pergi kemana?
AGUS : Oh,
tidak Aku hanya akan mengunjungi Pak Rukmana Kholil yang baik.
RUKMANA : Lalu mengapa
pakai jas segala, seperti pada hari lebaran saja.
AGUS : Begini
soalnya. (MEMEGANG TANGANNYA SENDIRI) Aku mengunjungi Pak Rukmana Kholil yang
baik, karena ada satu permintaan. Sudah lebih satu kali aku merasa sangat
beruntung telah mendapatkan pertolongan dari Bapak yang selalu boleh dikatakan
..., tapi aku, aku begitu gugup. Bolehkah aku minta segelas air, Pak Rukmana? Segelas air!
RUKMANA : (KESAMPING
MENGAMBIL MINUMAN). Sudah tentu dia akan pinjam uang, tapi saya tidak akan
memberinya.
(KEPADA
AGUS) Apa soalnya, Agus?
AGUS : Terima
kasih, Pak Rukmana ... Maaf ... Pak Rukmana Kholil yang baik, aku begitu gugup.
Pendeknya, tak seorang pun yang bisa menolong saya, kecuali Bapak. Meskipun aku
tidak patut untuk menerimanya, dan aku tidak berhak mendapatkan pertolongan
dari Bapak.
RUKMANA : Akh, Agus
jangan bertele-tele, yang tepat saja, ada apa?
AGUS : Segera
... segera. Soalnya adalah: Aku datang untuk melamar putri Bapak.
RUKMANA : (DENGAN GIRANG)
Anakku Agus, Agus Tubagus, ucapkanlah itu sekali lagi, aku hampir tidak percaya.
AGUS : Saya
merasa terhormat untuk meminang ... ...
RUKMANA : Anakku sayang,
aku sangat gembira, dan seterusnya ... (MEMELUK) Aku sudah mengharapkannya begitu
lama sekali. Memang itulah keinginku. Aku selalu mencintaimu, Agus. Seperti kau
ini, anakku sendiri. Semoga Tuhan memberkati cinta kalian; cinta, kasih yang
baik, dan seterusnya ... Aku selalu mengharapkan ... Mengapa aku berdiri di
sini seperti tiang? Aku membeku karena girang, begitu bahagia seratus persen
seluruh hatiku. Alangkah baiknya aku panggilkan Ratna. Dan seterusnya ...
AGUS : Pak
Rukmana Kholil yang baik, bagaimana Pak, bolehkah saya mengharapkan dia untuk
melamar saya?
RUKMANA : Bagi seorang
yang ganteng seperti kau, dia akan menerima lamaranmu. Aku yakin sekali, ia
sudah rindu: seperti kucing. Dan seterusnya ... sebentar ... (KELUAR)
AGUS : Aku
kedinginan, aku gemetar seperti hendak menempuh ujian penghabisan, tapi
sebaiknya memutuskan sesuatu sekarang juga. Kalau orang berpikir terlalu lama,
aku ragu untuk membicarakannya. Menunggu kekasih yang cinta sehidup-semati
akhirnya dia tak kawin-kawin ... Brrr ... Aku kedinginan, Ratna Rukmana gadis
yang baik. Pandai memimpin rumah tangga, tidak jelek, terpelajar, tamatan SKP
... Apalagi yang aku inginkan? Tetapi aku sudah begitu pening. Aku gugup.
(MINUM)
Chh
... aku harus kawin. Pertama, aku sudah berumur tiga puluh tahun. Boleh dikatakan umur yang kritis juga. Aku butuh hidup yang teratur dan tidak
tegang. Karena aku punya penyakit jantung. Selalu berdebar-debar, aku selalu
terburu-buru. Bibirku gemetar dan mataku yang kanan selalu berkerinyut-kerinyut.
Kalau aku baru saja naik ranjang dan mulai terbaring ... oh ... pinggang kiriku
sakit, aku bangun, meloncat seperti orang kalap. Aku berjalan sendiri dan pergi
tidur lagi. Tapi kalau aku hampir mengantuk, datang lagi penyakit itu. Dan ini
berulang sampai dua puluh kali. (RATNA MASUK)
RATNA : Ooo
... Kau. Mengapa ayah mengatakan ada pembeli mau mengambil barangnya? Apa kabar
Agus Tubagus?
AGUS : Apa
kabar Ratna Rukmana yang baik?
RATNA : Maafkan
bajuku jelek. Aku sedang mengiris buncis di dapur, mengapa sudah lama tak datang?
Duduklah.
(MEREKA
DUDUK) Sudah makan? Mau rokok? Ini koreknya. Hari ini terang sekali sehingga
petani-petani tak bisa bekerja. Sudah berapa jauh hasil panenmu? Sayang, saya
terlalu serakah memotong tanaman. Sekarang aku menyesal karena aku takut busuk
nantinya. Dan aku seharusnya menunggu.
(MEMANDANG
SEBENTAR) Eee ... apa ini? Begini nih baru ... Mau pergi ke mana, Agus? Huu ...
kau kelihatan cakep sekarang. Ada apa?
AGUS : (GUGUP)
Begini Ratna Rukmana yang baik. Sebabnya ialah: aku sudah memastikan bahwa ayahmu
ingin agar kau mendengarkan langsung dari aku. Tentunya kau tak mengharapkan
hal ini. Dan mungkin kau akan marah. Tapi, oh ... betapa dinginnya. (MINUM)
RATNA : Ada
apa? (HENING)
AGUS : Baik.
Akan kusingkat saja. Ratna Rukmana yang manis, bahwa sejak kecil aku mengenal
kau dan keluargamu, almarhum bibiku dari suaminya, dari mana aku, seperti kau
ketahui, diwarisi tanah dan rumah, selalu menaruh hormat dan menjunjung tinggi
ayah dan ibumu. Dan keluarga Jayasasmita, ayahku, dan keluarga Raden Rukmana, ayahmu,
selalu rukun dan boleh dikatakan sangat intim. Terlebih-lebih lagi seperti kau
ketahui, tanahku berdampingan dengan tanahmu, barangkali kau masih ingat
Lapangan “Sari Gading”-ku yang dibatasi oleh pohon-pohon ...
RATNA : Maaf,
saya memotong. Kau katakan Lapangan “Sari Gading“ apa benar itu milikmu?
AGUS : Ya,
itu milikku.
RATNA : Jangan
keliru. Lapangan “Sari Gading“ adalah milik kami. Bukan milikmu.
AGUS : Tidak.
Itu adalah milikku, Ratna Rukmana yang manis.
RATNA : Aneh
aku baru mendengar sekarang betapa mungkin tanah itu tiba-tiba menjadi milikmu.
AGUS : Tiba-tiba
jadi milikku? Ah, Nona ... Aku sedang berbicara tentang Lapangan “Sari Gading”
yang terbentang antara Anyer dan Jakarta.
RATNA : Aku
tahu, tapi itu adalah milik kami.
AGUS : Tidak,
Ratna Rukmana yang terhormat. Kau keliru. Itu adalah milik kami.
RATNA : Pikirlah
apa yang kau ucapkan, Agus Tubagus ... Sejak berapa lama tanah itu menjadi
milikmu?
AGUS : Apa
yang kaumaksud dengan “beberapa lama“? selamanya aku punya ingatan, tanah itu
adalah milik kami.
RATNA : Mana
bisa ... ?
AGUS : Aku
mempunyai bukti-bukti tertulis, Ratna Rukmana Kholil. Lapangan “Sari Gading”
dulu memang milik yang dipersoalkan. Tapi sekarang setiap orang tahu, bahwa
tanah itu miliku dan hal itu sekarang sudah tidak menjadi persoalan lagi.
Pikirkanlah baik-baik. Nenek-Bibiku mengijinkan tanah itu dipakai oleh
petani-petani Kakek-Ayahmu tanpa uang sewa selama lebih dari dua ribu tahun.
Dan sudah menjadi kebiasaan mereka untuk menganggap tanah itu menjadi milik
mereka. Tapi sesudah perjanjian itu habis, yaitu sesudah Pak Harto lengser ...
RATNA : Semua
ucapanmu sama sekali tidak benar. Ayah Kakekku dan kakkekku, keduanya
menganggap bahwa tanah mereka memanjang sampai Rawa Pening. Jadi Lapangan “Sari
Gading“ adalah milik kami. Ooo ... aku tidak mengerti apa yang menjadi
persoalan. Ini merusak suasana Agus Tubagus.
AGUS : Akan
kutunjukkan dokumen-dokumennya Ratna Rukmana ...
RATNA : Kau
akan melucu atau akan menggoda saya? Itu tidak lucu sama sekali. Kami memiliki
tanah itu hampir tiga abad, dan tiba-tiba kudengar tanah itu bukan milikku.
Maaf, Agus Tubagus Jayasasmita. Saya terpaksa tidak mempercayai ucapan-ucapanmu
itu. Saya tidak tergila-gila pada tanah lapangan itu. Besarnya tidak lebih dari
empat puluh bahu dan harganya paling tinggi tiga ratus ribu rupiah. Tetapi saya
terpaksa memprotes karena ketidak adilan. (AGUS BERAKSI INGIN BICARA)
Kau
boleh mengatakan apa yang kau sukai. Tapi saya tidak dapat membiarkan
ketidakadilan.
AGUS : Saya
mohon agar kau suka mendengarkan aku. Petani-petani Kakek-Ayahmu seperti
kukatakan tadi membuat batu bata untuk Nenek-Bibiku. Dan karena Nenek-Bibiku
ingin membalas kebaikan ini ...
RATNA : Kakek-Nenek-Bibi,
aku tak mengerti semua itu. Lapangan “Sari Gading“ adalah milik kami ! Itulah !
AGUS : Milikku
... ! ..., Milikku ... !
RATNA : Milik
kami ... ! Biarpun kau akan bertengkar selama dua hari dan memakai lima belas
jas, Lapangan “Sari Gading“ itu tetap milik kami. Aku tidak menghendaki kepunyaanmu.
Tetap aku tidak menghendaki kehilangan kepunyaanku. Sekarang kau boleh katakan
apa kau suka!
AGUS : Aku
juga tidak tergila-gila pada lapangan itu, Ratna Rukmana. Kalau kau mau akan
kuberikan tanah itu padamu sebagai hadiah.
RATNA : Aku
yang bisa memberikan tanah itu kepadamu sebagai hadiah. Karena itu adalah
milikku. Semua ini merusak suasana, Agus Tubagus. Percayalah. Sampai sekarang
aku masih memandangmu sebagai sahabat yang baik. Tahun yang lalu kami meminjam
mesin penggiling padi hingga bulan Nopember dan sekarang kau berani menganggap
kami sebagai kaum melarat. Menghadiahi aku dengan tanahku sendiri. Maafkan
saya, Agus Tubagus. Ini bukan sikap tetangga yang baik. Terlebih-lebih lagi ini
dengan pasti kuanggap sebagai suatu penghinaan.
AGUS : Kalau
begitu menurut anggapanmu aku ini lintah darat? Chh, aku belum pernah merampas
tanah orang lain, nona. Dan aku tidak bisa membiarkan siapapun juga menghina aku
dengan cara yang demikian! (MINUM) Lapangan “Sari Gading“ adalah milik kami.
RATNA : Bohong!
Akan kubuktikan. Hari ini akan kusuruh buruh-buruh kami memotong rumput di
lapangan itu.
AGUS : Akan
kulempar mereka semua keluar!
RATNA : Awas
kalau kau berani!
AGUS : (MEMEGANG
JANTUNGNYA) Lapangan “Sari Gading” adalah miliku.
RATNA : Jangan
kau menjerit! Kau boleh berteriak-teriak dan kehilangan nafas karena marah bila
di rumahmu sendiri. Tapi disini kuminta jangan ... Kuminta supaya kau mengerti
adat.
AGUS : Kalau
aku tidak sakit napas, nona. Kalau kepalaku tidak berdenyut-denyut, aku tidak
akan berteriak-teriak seperti ini.
(BERTERIAK)
Lapangan “Sari Gading“ milikku.
RATNA : Punya
kami!
AGUS : Punyaku!
RATNA : Kami!
AGUS : Punyaku!
(RUKMANA KHOLIL MASUK)
RUKMANA : Ada apa
dengan kalian? Mengapa berteriak-teriak?
RATNA : Ayah,
coba terangkan pada orang ini. Siapa yang memiliki Lapangan “Sari Gading“. Dia
atau kita?
RUKMANA : Agus, Lapangan “Sari
Gading“ adalah milik kami.
AGUS : Masya
Allah, Rukmana ! Bagaimana bisa menjadi milikmu?
Cobalah
sedikit adil. Nenek-Bibi meminjamkan Lapangan “Sari Gading“ tersebut kepada
petani-petani Kakekmu. Petani-petani itu telah memakainya selama lebih dari dua
ribu tahun. Dan mereka menganggap bahwa tanah itu telah menjadi milik mereka.
Tapi ketika perjanjian selesai, maka tanah itu adalah milik kami.
RUKMANA : Maaf, Agus. Kau
lupa bahwa petani-petani itu tidak membayar uang sewa kepada Nenekmu dan
seterusnya ... Karena justru hak tanah itu dipersoalkan dan tidak lama
kemudian, ... ... dan sekarang setiap anjing pun mengetahui kami yang
memilikinya. Mungkin kau belum memiliki petanya, Gus.
AGUS : Akan
aku buktikan bahwa akulah pemiliknya!
RUKMANA : Akan tidak
bisa, Nak ...
AGUS : Tentu saja bisa!
(TEGAS BERTERIAK NGOTOT)
RUKMANA : Mengapa kau
berteriak-teriak, Agus? Kau tidak usah membuktikan apa-apa dengan menjerit-jerit.
Aku tidak menginginkan kepunyakanmu. Dan akupun tidak akan menyerahkan
kepunyakanku. Untuk apa? Kalau kau, Agus ... Kalau kau sudah berani mencoba
untuk bertengkar tentang lapangan itu lebih baik aku berikan lapangan itu
kepada petani-petani, dari pada kepada orang seperti kamu.
AGUS : Itu
kurang ku mengerti. Atas hak apa bapak menghadiakan hak orang lain?
RUKMANA : Aku bebas
memutuskan apakah aku berhak atau tidak? Aku bisa mengucapkan namammu: “Juragan
Muda“! Tetapi aku tidak bisa bicara dengan cara seperti ini. Umurku sudah dua
kali umurmu, Juragan Muda. Dan kuminta supaya kau bicara tanpa
berteriak-teriak, dan seterusnya ...
AGUS : Apa?
Bapak menganggap aku ini tolol dan mentertawakan aku? Katamu ... Tanahku
adalah tanah Bapak? Huh ... Itu bukan
sikap tetangga yang baik. Dan bapak masih mengharapkan aku diam saja? Aku harus
bicara secara patut terhadap Bapak?
Huh
... Itu bukan sikap tetangga yang baik, Rukmana Kholil ... Kau bukan tetangga
yang baik. Kau lintah darat!
RUKMANA : Apa katamu, Agus?
Lintah darat?
RATNA : Ayah,
suruhlah buruh-buruh itu memotong rumput di lapangan itu segera.
AGUS : Apa
katamu, nona?
RATNA : Lapangan
“Sari Gading“ adalah milik kami dan kami tidak akan menyerahkan kepadamu. Aku
tidak mau, tidak mau ...
AGUS : Oh
... persoalan ini akan berlarut-larut nantinya. Akan kubuktikan di depan
pengadilan bahwa akulah pemiliknya.
RUKMANA : Di depan
pengadilan boleh saja, Juragan Muda, dan seterusnya ... Boleh saja ... Kamu
memang telah lama menunggu-nunggu kemungkinan untuk membawa persoalan ini ke
pengadilan adat, yang menggunakan undang-undang pengadilan secara licik!
Memang
semua keluargamu suka bertindak licik!... semuanya ... !
AGUS : Bapak
jangan menghina keluargaku. Semua keluarga Jayasasmita selalu orang yang dapat
dipercaya, dan tidak seorangpun yang muncul di pengadilan karena melarikan
uang, seperti pamanmu. (KEPADA RATNA)
RUKMANA : Semua keturunan
Jayasasmita keturunan gila !
RATNA : Yaaaaa
... Semuanya, semuanya ... ... !
RUKMANA : Kakekmu seorang
pengadu ayam, bibimu yang termuda melarikan diri dengan mandor PU, dan
seterusnya ... (LEMAH)
AGUS : Dan
bibimu seorang yang bongkok.
(MEMEGANG
JANTUNGNYA) Aduh pinggangku ... sakit, darahku naik ke kepala ... Demi Allah
... Air ...
RUKMANA : Dan ayahmu seorang
yang mata keranjang!!!
RATNA : Dan
tak ada lagi selain Bibimu yang mulutnya latah dan judes ...
AGUS : Oooohh
... Kakiku sudah lumpuh! Kalian orang-orang berkomplot! Tukang komplot! Oh ...
Mataku berkunang-kunang, ma... manaaa
... Topiku? Mana pintuny?! Aku mau pulang ... !!
RATNA : Jahat!,
Licik!, Memualkan!!
RUKMANA : Dan kau sendiri
adalah orang yang berpenyakitan. Berkepala dua, penyebar malapetaka, itulah kau!
AGUS : Mana
pintunya? Ooooh ... hatiku, ke mana saya harus keluar...? Mana pintunya? ...
(KELUAR)
RUKMANA : Selangkahpun
kamu jangan lagi memasuki rumah ini!
RATNA : Bawa
saja ke pengadilan, kita lihat nanti. (AGUS KELUAR MERABA PINTU)
RUKMANA : Persetan dia
... (MONDAR-MANDIR DENGAN MARAH)
RATNA : Orang
sial, bagaimana kita bisa percaya lagi kebaikan-kebaikan tetangga sesudah ini?,
penjahat!, orang tolol!, berani-beraninya mengaku tanah orang dan menghina
pemiliknya. Sialan!!!
RUKMANA : Dan si Konyol
itu ... Si Jelek itu ... Berani melamarmu dan seterusnya ... Pikirlah ... Melamar.
RATNA : Hhhaaaahhh
... ?, Melamar Apa?
RUKMANA : Dia datang ke
sini untuk melamarmu ...
RATNA : Melamar
saya? Mengapa ayah tidak memberitahu terlebih dahulu? (MENYESAL)
RUKMANA : Karena itu dia
berpakaian necis. Bagus! Si Bulus!
RATNA : Melamar
aku? ... Melamar? ... (JATUH KE KURSI) ... Bawa dia kembali ... Oh, bawa dia
kembali lagi.
RUKMANA : Aduh, bawa dia
kembali?
RATNA : Lekas
... Lekas ... Aku mau pingsan, bawa dia kembali, bawa dia kembali ...
RUKMANA : Aduh ... segera,
jangan menangis. Apa yang akan kita lakukan? ... Baiklah ... ! (LARI KELUAR)
RATNA : Oh,
Tuhan, bawa dia kembali, bawa dia kembali ...
RUKMANA : (MASUK LAGI)
Dia akan segera datang, katanya. Oh ... alangkah sulitnya menjadi ayah seorang
gadis yang sudah besar dan sudah kepingin kawin. Akan kupotong leherku, kami
hina orang itu, mempermainkannya, mengusir dia, karena salahmu ... karena kau.
RATNA : Tidak.
Ayah yang salah!
RUKMANA : Ha ... ?
Salahku? Begitukah? (AGUS MASUK) Nah, bicaralah sendiri dengan dia! (RUKMANA
KELUAR)
AGUS : (MASIH
TERENGAH-ENGAH) Hatiku berdebar-debar, kakiku lumpuh, pinggangku sakit seperti
ditusuk-tusuk jarum.
RATNA : Kami
minta maaf, Agus. (DENGAN MANISNYA) Kami terlalu terburu-buru, Agus Tubagus
Jayasasmita, sekarang aku ingat Lapangan “ Sari Gading “ adalah milikmu.
Sungguh-sungguh ...
AGUS : Oh
... Hatiku berdebar-debar hebat. Ya, Lapangan “Sari Gading“ adalah milikku.
Aaaaa ... Kedua mataku berdenyut-denyut.
RATNA : Ya
... milikmu, betul milikmu. Duduklah, (MEREKA DUDUK) Kami tadi salah.
AGUS : Aku
bertindak menurut prinsip. Aku tidak menghargai tanah lapangan itu. Yang aku
hargai adalah prinsipnya.
RATNA : Betul,
prinsipnya. Mari kita bicarakan soal lain saja.
AGUS : Terutama
aku mempunyai bukti-buktinya, Ratna Rukmana. Nenek-Bibiku memberikan ijin
kepada petani-petani ayahmu ...
RATNA : Cukup,
cukup tentang hal itu. (KE SAMPING) Saya tidak tahu bagaimana memulainya.
(KEPADA AGUS) Apakah kita akan berburu rusa, pada suatu hari?
AGUS : (MULAI
HIDUP) Berburu rusa? Eeee ... Aku berharap berburu ayam liar setelah panen
selesai, Ratna Rukmana yang baik. Tapi sudahkah kau mendengar betapa jeleknya
nasib si Belang, anjingku, kau kenal dia? ... Kakinya lumpuh ...
RATNA : Kasihan,
bagaimana terjadinya? ...
AGUS : Entahlah,
mungkin otot kakinya terkilir. Tapi, anjingku adalah yang terbaik. Lagi pula
belum kusebutkan berapa harga yang harus kubayar untuk dia. Tahukah kau bahwa
aku membayar kepada Haji Soleh sebanyak dua ribu rupiah untuk si Belang?
RATNA : Terlalu
mahal, Agus Tubagus.
AGUS : Kukira
jumlah yang murah sekali, Ratna. Ia anjing yang lucu dan cerdas.
RATNA : Ayah
hanya membayar lima ratus rupiah untuk si Kliwon, dan si Kliwon jauh lebih
cerdik daripada si Belang.
AGUS : Si
Kliwon lebih cerdik dari si Belang? (TERTAWA) Mana bisa si Kliwon lebih cerdik
dari si Belang?
RATNA : Ya,
tentu saja. Si Kliwon masih muda sebetulnya ... Tetapi kalau dilihat
sifat-sifatnya dan cerdiknya, Raden Jayasasmita tidak mempunyai satu ekor-pun
yang menyamai dan yang bisa mengalahkannya.
AGUS : Maaf,
Ratna Rukmana. Tapi kau lupa bahwa si Kliwon berkumis pendek. Dan, ooo ...
Anjing yang berkumis pendek itu kurang pandai menggigit.
RATNA : (MULAI
MARAH) Kumis pendek! Huh, baru sekali ini aku mendengar tentang hal itu.
AGUS : Aku
tahu, kumisnya yang atas lebih pendek daripada kumis bawahnya.
RATNA : Sudah
kau ukur?
AGUS : Oh
ya, anjingmu itu tentu cukup baik untuk mencium bau binatang kalau sedang
berburu, tapi dia tidak pandai menggigit.
RATNA : Tetapi
pada anjing peliharaanmu itu keturunannya tidak dapat dilihat dan lagi ia sudah
tua dan jelek seperti kuda yang hampir mati.
AGUS : Oh
... Ia sudah tua, memang. Tapi aku tidak mau menukarnya dengan sepuluh ekor
anjing seperti si Kliwon. Dan si Kliwon itu tidak perlu ditanya lagi, setiap
pemburu mempunyai berpuluh-puluh anjing, seperti si Kliwon itu. Dan lima ratus
rupiah harga yang cukup tinggi untuk dia.
RATNA : Tampaknya
hari ini ada setan yang berbantahan dalam dirimu, Agus Tubagus. Pertama, kau
tadi mengakui bahwa Lapangan “Sari Gading“ adalah milikmu. Lalu sekarang kau
mengatakan si Belang anjingmu lebih cerdik dari si Kliwon. Aku tidak suka pada
lelaki yang mengatakan sesuatu yang bertentangan dengan pemikiranku. Kau pasti
tahu bahwa anjing kami seratus kali lebih bagus dan berharga daripada anjingmu
yang bodoh, lalu mengapa kau mengatakan yang sebaliknya?
AGUS : Sekarang
sudah jelas, Ratna Rukmana. Bahwa kau buta dan tolol. Insyaflah kau, bahwa
anjingmu berkumis pendek.
RATNA : Bohong
... !
AGUS : Betul
... !
RATNA : Bohoooooong
... !
AGUS : Mengapa
menjerit-jerit? Mengapa kau berteriak-teriak?
RATNA : Mengapa
kau berbicara omong-kosong? Ingin membuat aku marah. Sudah masanya bahwa si
Belang harus ditembak mati. Tapi coba kau bandingkan dengan si Kliwon.
AGUS : (SAKIT
LAGI) Maaf aku tidak bisa meneruskan soal ini. Hatiku berdebar-debar.
RATNA : Aku
sudah berpengalaman bahwa laki-laki yang biasanya ngomong besar tentang
perburuan biasanya tidak mengetahui tentang soal itu.
AGUS : Nona,
kuminta agar kau jangan bicara. Kepalaku akan pecah. Diamlah!
RATNA : Aku
akan diam sebelum kau mengakui bahwa si Kliwon seratus kali lebih baik dari si
Belang.
AGUS : Seribu
kali lebih jelek ! Persetan dengan si Kliwon. Oh, kepalaku ... Oh, mataku ...
Pundakku ...
RATNA : Belangmu
yang bodoh tidak memerlukan ucapan persetan, ia boleh dianggap mati saja.
AGUS : Diam!
Hatiku mau pecah! Oh.
RATNA : Sekarang
apa lagi? (RUKMANA MUNCUL) Ayah katakan dengan sungguh-sungguh, dengan pikiran
sehat Ayah, anjing mana yang lebih baik, si Kliwon atau si Belang?
AGUS : Pak
Rukmana, saya hanya meminta jawaban atas pertanyaanku, apakah si Kliwon
berkumis pendek atau tidak? Iya atau tidak?
RUKMANA : Mengapa kalau
ya? Mengapa kalau tidak? Itu kan tidak berarti apa-apa? Tidak ada lagi anjing
yang baik di seluruh daerah kita ini.
AGUS : Tetapi
anjing si Belang lebih baik dari si Kliwon, bukan?
RUKMANA : Jangan
terburu-buru, Agus. Duduklah. Si Belang tentunya memiliki sifat-sifat yang
baik. Dia anjing yang tahu adat. Kakinya kuat. Cukup gemuk dan seterusnya ...
Tapi anjing itu Agus, kau ingin tahu? Hidungnya berbentuk bola ...
AGUS : Maaf,
hatiku berdebar-debar. Mari kita tinjau fakta-faktanya. Kalau kau insyaf, di
rumah Wak Mansyur, anjing Raden Martasuwanda dikalahkan si Belang, sedangkan
anjing Bapak, si Kliwon, setengah kilo di belakang mereka.
RUKMANA : Bohong, Agus.
Aku orang yang cepat marah. Dan kuminta kau menghentikan perdebatan ini. Ia
dilecut orang, karena setiap hari orang iri melihat anjing orang lain. Misalkan
saja kau menemukan bahwa anjing kami lebih pandai dari pada si Belang. Kau
mulai mengatakan ini dan itu dan seterusnya ... Ingat itu, Agus?
AGUS : Kuingat
juga ...
RUKMANA : (MENIRUKAN) Kuingat
juga. Apa yang kau ingat?
AGUS : Hatiku
berdebar-debar. Kakiku sudah hilang perasaannya. Aku tidak bisa ...
RATNA : (MENIRUKAN)
Hatiku berdebar-debar. Huh ... Itukah seorang pemburu ? Kau seharusnya tinggal
di rumah saja daripada terguncang di atas kuda. Kalau kau benar pemburu tak
apalah. Tapi kau cuma ikut-ikutan untuk bertengkar dan ikut-ikutan campur tangan
anjing orang lain. Kau seharunya berbaring di ranjangmu. Dan minumlah obat kuat
daripada berburu serigala. Huh ... hatiku berdebar-debar. Huh ...
RUKMANA : Ya! Itukah
seorang pemburu? Dengan penyakit jantungmu itu kau seharusnya tinggal di rumah
daripada terguncang-guncang di atas kuda. Kalau kau betul-betul pemburu, tak
apalah, tapi kau Cuma ikut-ikutan campur tangan orang lain, bukan? Dan
seterusnya ... ... Aku orangnya cepat marah, Agus. Lebih baik kau hentikan saja
perbantahan ini. Kau bukan seorang pemburu!
AGUS : Dan
kau? apakah kau juga seorang pemburu? Kau ikut hanya untuk korupsi dan
menjilati hati pembesar-pembesar. Ooo ... hatiku, kau ikut orang yang
berkomplot!
RUKMANA : Apa? Aku orang
yang berkomplot? (BERTERIAK) Tutup mulutmu!
AGUS : Tukang
komplot!
RUKMANA : Pengecut! Anak
liar!
AGUS : Tikus
tua! Rentenir! Lintah darat!
RUKMANA : Tutup mulutmu,
atau akan kubunuh kau dengan senapan ayam liar. Goblok!
AGUS : Setiap
orang mengetahui ..., ooo hatiku ..., bahwa istrimu dulu suka memukuli kau. Ooo
... hatiku ... bahuku ... mataku ... aku pasti mati, ooooh ... ... ...
RUKMANA : Dan kau suka
menggoda babu-babu tetanggamu.
AGUS : Ooo
... hatiku ... Pasti hancur, pundakku sudah linu. Mengapa pundakku? Oh ... Aku
pasti mati ... (JATUH KE KURSI)
RUKMANA : Aku pasti lemas susah bernapas, kurang
hawa.
RATNA : Ia mati ... ! Ia mati ... !
RUKMANA : Siapa mati?
(MELIHAT AGUS) Dia benar-benar telah mati, ya Tuhan! Dokter! (MELETAKKAN AIR DI
BIBIR AGUS)
Minum
... Ia tidak mau minum. Jadi dia mati, dan seterusnya ... Mengapa aku tidak
menembak diriku? Beri aku pistol! ... Pisau!
(AGUS
BERGERAK-GERAK) kukira ia hidup...Minumlah,Agus ...
AGUS : (BERKUNANG-KUNANG)
Dimana aku?
RUKMANA : Sebaiknya kau
segera kawin, dan seterusnya, persetan kalian. Dia menerima lamaranmu dan akan
kuberikan anakku kepadamu.
AGUS : Ah,
siapa? (BANGUN) Siapa?
RUKMANA : Ia menerima
kamu dan persetan dengan kalian.
RATNA : (HIDUP)
Ya, kuterima lamaranmu.
RUKMANA : Jabatlah
tangannya, Nak. Dan seterusnya ...
AGUS : Hah?
Apa? Aku gembira. Maaf Ada apa sebenarnya? Oh ya, aku mengerti. Hatiku berdebar-debar,
kepalaku pusing, aku senang Ratna yang manis.
RATNA : Saya
... saya juga senang Agus Tubagus.
RUKMANA : Nah ...
Selesailah sudah satu persoalan di dalam kepalaku.
RATNA : Tapi
harus kau terima sekarang. Si Belang lebih bodoh dari si Kliwon .
AGUS : Dia
lebih cerdik, Ratna.
RATNA : Ia
kurang cerdik!
AGUS : Ia
lebih cerdik.
RATNA : Kurang!
AGUS : Lebih!
RATNA : Kurang!
AGUS : Lebih!
RUKMANA : Wahhhh, inilah
permulaan hidup bahagia seopasang suami-istri! Mari kita berpesta!
L a y a r T u r u n
kak tolong ms.word nya dongg. butuh banget hariini
ReplyDelete