Sebuah Monolog
S A R I M I N
Karya Agus Noor [ agus2noor@yahoo.com
]
1.
Tampak panggung pertunjukan, mengingatkan
pada pentas kampung…
Para pemusik muncul, nyante, seakan-akan
mereka hendak melakukan persiapan. Ada yang mumcul masih membawa minuman.
Ngobrol dengan sesama pemusik. Kemudian mengecek peralatan musik. Mencoba
menabuhnya. Suasana seperti persiapan pentas. Tak terlihat batas awal
pertunjukan.
pemusik-opening.jpg
Sesekali pemusik menyampaikan pengumunan
soal-soal yang sepele: Memanggil penonton yang ditunggu saudaranya di luar
gedung, karena anaknya mau melahirkan; menyuruh pemilik kendaraan untuk
memindahkan parkir mobilnya, atau mengumumkan bahwa Presiden tidak bisa datang
menyaksikan pertunjukan malam ini karena memang tidak diundang;
pengumuman-pengumuman yang remeh-remeh dan bergaya jenaka… Atau menyapa
penonton yang dikenalnya, bercanda, say hello, sembari sesekali menyetem
peralatannya.
Kemudian mereka menyanyikan lagu tetabuhan,
yang mengingatkan pada musik topeng monyet. Para pemusik bernyanyi dan
berceloteh jenaka. Sementara ruang pertunjukan masih terang. Tertengar lagu
tetabuhan yang riang…
Lalu muncullah aktor pemeran monolog ini
atau Tukang Cerita. Terlihat jenaka menari-nari mengikuti irama. Hingga musik
tetabuhan berhenti, dan Tukang Cerita mulai menyapa penonton dengan penuh
semangat bak rocker,
TUKANG CERITA:
Selamat malam semuanya! Yeah!…
Wah, gayanya seperti rocker, tapi nafasnya
megap-megap. Rocker tuek…
Senang sekali saya bisa ketemu Saudara
semua. Ini kesempatan langka, bertemu dalam peristiwa budaya. Anda mau datang
nonton pertunjukan ini saja sudah berarti menghargai peristiwa budaya, ya kan?!
Hanya orang-orang yang berbudaya yang mau nonton peristiwa budaya. Jadi,
bersyukurlah, kalau malam ini Anda merasa ge-er sebagai orang yang berbudaya.
Soalnya, di negeri ini, manusia yang masuk dalam kategori manusia berbudaya itu
lumayan tidak banyak. Jadi manusia berbudaya itu agak sama dengan badak
bercula. Sama-sama langka.
tukang-cerita-bag-awal.jpg
Nah, salah satu ciri penonton berbudaya itu
kalau nonton pertunjukan, selalu mematikan handphone. Ayo sekarang, silakan
men-non atifkan-kan HP Anda, sambil berimajinasi seakan-akan Anda itu Presiden
yang sedang men-non aktif-kan menteri Anda. Atau kalau selama ini Saudara punya
bakat dan naluri membunuh, silakan diekspresikan bakat membunuh Saudara dengan
cara membunuh handphone masing-masing.
Nanti, selama pertunjukan, juga dilarang
memotret pakai lampu kilat. Nanti ndak jantung saya kaget. Di dalam gedung ini
juga dilarang makan, minum atau merokok…. kecuali pemainnya.
Malam ini, saya akan bercerita tentang
Sarimin. Perlu Anda ketahui, nama Sarimin ini bukanlah nama asli. Tapi nama
paraban. Nama panggilan. Nama aslinya sendiri sebenarnya cukup keren: Butet
Kartaredjasa..1 Mungkin nama ini kurang membawa berkah. Meski pun ada juga lho
orang yang memakai nama Butet Kartaredjasa, lah kok nasibnya malah mujur:
tersesat jadi Raja Monolog. Atau istilah yang lebih populisnya: pengecer jasa
cangkem.
Nah, dia dipanggil Sarimin, karena
berprofesi sebagai tukang topeng monyet keliling. Agak aneh juga sebenarnya,
kenapa nama Sarimin itu identik dengan topeng menyet. Begitu mendengar nama
Sarimin, langsung ingatan kita… tuinggg… melayang ke topeng monyet.
Memang sih ada nama-nama yang identik
dengan sesuatu. Yah, misalnya sepertu nama Pleki. Begitu mendengar nama Pleki,
kita pasti langsung teringat pada… (sambil menunjuk ke arah pemusik).. anjing
kampung. Atau nama Munir, misalnya. Nama munir selalu mengingatkan kita pada
aktivis hak asasi yang mendapat berkah diracuni arsenik. Memang kebangeten kok
yang ngracun itu, kok ya ndak merasa bersalah… Kita juga kenal Baharudin Lopa,
yang identik dengan sosok yang jujur dalam hukum. Nama Gesang… identik dengan
Bengawan Solo. Suharto… yang identik selalu mendadak sakit kalau dipanggil
pengadilan. Atau Sumanto… Begitu mendengar nama Sumanto, kita langsung
teringat…
Celetukan pemusik: “Kanibalisme…”
TUKANG CERITA:
Itu terlalu keren… Bukan kanibalisme, tapi
ciak kempol! Atau yang sekarang lagi popular: Bondan Winarno… Begitu mendengar
nama Bondan Winarno, langung ingat wisata kuliner… mak yuss…
Musik memberi tekanan dan membangun
suasana…
TUKANG CERITA:
Sebagai tukang topeng monyet keliling,
Sarimin lumanyan konsisten menekuni kariernya. Lebih kurang 47 tahun dia jadi
tukang topeng monyet. Sekarang dia sudah berumur 54 tahun. Jadi kalau
dihitung-hitung, dia sudah menjadi tukang topeng monyet sejak umur 7 tahun. Ini
profesi yang diwarisi Sarimin dari Bapaknya yang sudah almarhum.
Mungkin Saudara pernah bertemu Sarimin.
Atau pernah melihat Sarimin melintas di jalanan yang macet. Kemacetan yang
sepertinya sengaja diselenggarakan oleh Gubernurnya.
Atau mungkin suatu hari Anda pernah secara
sengaja berpapasan dengan Sarimin. Mungkin malah Anda sempat ngobrol sebentar
berbasa-basi denganya… Tapi Anda tak lagi mengingatnya. Tampang dan nasib
Sarimin memang membuat orang malas mengingatnya. Saking leceknya. Bajunya…
Tukang Cerita itu mengambil baju dari kotak
pikulan topeng monyet yang ada di dekatnya. tukang-cer-jadi-sarimin.jpgDan
mulai di sini, pelan-pelan, Tukang Cerita itu mengubah dirinya menjadi tokoh
Sarimin. Sambil terus bicara ia mengganti baju Tukang Cerita dengan pakaian
Sarimin…
TUKANG CERITA:
Lihat saja bajunya… Setahun sekali kena
sabun saja sudah lumayan… (Kepada para pemusik) Coba cium…, baunya… hmmm, mak
brengg… Belum lagi celananya…Coba lihat… (sambil memakai celana itu). Selalu
cingkrang…. Tapi ini cingkrang yang tidak menakutkan lho ya… Karena meski
celananya cingkrang, tidak jenggotan.. Tidak suka merusak kafe-kafe atau tempat
hiburan malam…
Sembari terus berubah menjadi Sarimin,
menempelkan bermacam “asesoris” penyakit kulit di tubuhnya…
TUKANG CERITA:
Tubuh Sarimin juga full asesoris… Penuh
tato emping, alias panu. Dia juga punya bisul yang nggak sembuh-sembuh. Ada
kutil di lehernya… Kurap ada. Kadas, kudis, jerawat, koreng, kutu air….
Pokoknya segala macam jenis penyakit kulit tersedia lengkap di badannya.
Dengan segala macam anugerah penyakit yang
dimilikinya itu, sudah barang tentu Sarimin bukanlah sosok yang menarik untuk
Anda ingat. Sarimin bukanlah orang yang cocok untuk dijadikan monument ingatan.
Makanya, saya pun akan maklum, apabila setelah menyaksikan pertunjukan ini Anda
pun tetap tak akan mengingat Sarimin… Sekarang ini, yang paling sulit memang
mengingat. Karena kita sudah terlalu l ama dididik keadaan untuk gampang lupa!
Musik menghentak, memberi tekanan perubahan
suasana dan karakter. Kini aktor itu sudah sepenuhnya berperan menjadi Sarimin.
Sementara musik tetabuhan topeng monyet berbunyi,sarimin-jalan2.jpg Sarimin
mulai mengambil peralatan topeng monyetnya, kemudian mulai berjalan memikul
peralatan topeng monyetnya, seolah mulai berjalan keliling menyusuri jalanan…
Suasana makin meriah dengan teriakan suitan para pemusik yang mencelotehi
tingkah Sarimin…
Sampai kemudin Sarimin mendadak berhenti,
memandang ke bawah, ke dekat kakinya. Seperti ada sesuatu yang menarik
perhatiannya. Segera Sarimin memungut sesuatu yang tergeletak di pinggir jalan
itu. Sebuah KTP. Sarimin dengan ragu-ragu memungut KTP itu. Memeganginya,
memandanginya…
Pada saat inilah, lampu di bagian penonton
meredup dan menggelap. Dan cahaya di panggung mulai mengarah pada Sarimin yang
memegangi dan mengamati KTP yang ditemukannya itu: bergaya membaca nama di KTP
itu, padahal ia tak bisa membaca… Baru kemudian ia menunjukkan KTP yang
ditemukannya itu kepada para pemusik…
SARIMIN:
Ini KTP siapa, ya? Ada yang merasa
kehilangan KTP tidak? Coba cek dulu mungkin dompet sampeyan jatuh.. Atau
kecopetan… Gimana, ada yang merasa kehilangan KTP?
Para pemusik berceloteh menangapi, merasa
tak kehilangan dompet atau KTP. Lalu Sarimin mencoba bertanya kepada para
penonton…
SARIMIN:
Maaf, Bu… Pak… Ada yang merasa kehilangan
KTP ndak ya? Ini tadi saya nemu…. Nanti kalau sampeyan ndak ada KTP kena razia
Operasi Justisia lho… Bisa-bisa dianggap penduduk gelap… Ini KTP sampeyan
bukan?
Celoteh Pemusik: “Mas, tanyanya yang sopan…
yang halus…”
Lalu Sarimin pun bersikap sopan yang
dilebih-lebihkan, bertanya pada para penonton sekali lagi,
SARIMIN:
Maaf, Bapak-bapak… Ibu-ibu… Apakah dari
pada Bapak Ibu ada yang merasa kehilangan dari pada KTP? Tidak? Bener, dari
pada Bapak Ibu ndak ada yang merasa kehilangan KTP?
Seorang Pemusik menyuruh Sarimin untuk
membacakan nama di KTP itu, “Kamu kan bisa baca, di situ ada namanya…, nanti
kan tahu itu KTP siapa?!”
Sarimin bergaya membaca tulisan di KTP itu,
tetapi hanya bibirnya yang komat-kamit…
SARIMIN:
Eee, anu, mata saya ini rada aneh kok…
Kalau buat mbaca langsung mendadak rabun… Lha ini, tulisannya mendadak ndak
jelas… Gini ajah, gimana kalau sampeyan yang bacain…
Para Pemusik meledek Sarimin: “Allahh..,
bilang saja nggak bisa baca. Nggak bisa baca ajah kok nggaya!”
SARIMIN:
Lho, siapa yang nggaya? Siapa yang ndak
bisa baca? Mbok jangan menghina begitu. Sukanya kok ya menyepelekan. Jangan
meledek orang yang ndak bisa baca… Banyak juga kok orang yang tidak bisa baca
tapi ya sukses… Malah ada orang ndak bisa baca tapi jadi pemimpin…
Celoteh Pemusik: “Lho emangnya ada pemimpin
yang nggak bisa baca?”
SARIMIN:
Ya ada… Gini saja kok ya ndak tahu…
Celoteh Pemusik: “Coba sebutkan, siapa?”
SARIMIN:
Pokoknya ada… Ndak usah saya sebutkan…
Celoteh Pemusik: “Bilang saja takut…. Hayo,
coba sebutkan, siapa?”
Sarimin tampak bingung, terpojok karena
terus didesak, mencoba menutupi ketakutannya. Celoteh Pemusik, terus mendesak: “Ayo,
coba sebutkan kalau berani…”
SARIMIN:
(Melihat-lihat ke arah penonton, masih
ketakutan dan hati-hati) Ada Pasukan Berani Mati yang nonton ndak ya… (Sarimin
tampak nggak berani menyebut)… Ya, pokoknya ada!
Celoteh Pemusik, terus mendesak: “Iya, siapa?
Sebutkan!”
SARIMIN:
(Berpikir sejenak, lalu menjawab) Prabu
Destarata… Itu, pemimpin Hastina! Dia kan tidak bisa baca… Kalian mau memancing
saya kan, biar saya menjawab Gus Dur… Ya ndak mungkinlah saya berani menyebut
Gus Dur… Boleh kan pemain teater juga takut. Nanti kalau ada apa-apa ya kalian
paling cuman bisa nyukurin… Bikin slametan begitu saya dipenjara…
Sarimin kembali menimang-nimang dan
memandangi KTP itu.
SARIMIN:
Bener, ini bukan KTP sampeyan?… (Bingung
menimbang-nimbang KTP itu) Ya, sudah, nanti sekalian saya pulang, saya tak
mapir ke Kantor Pulisi… Dari pada repot, kan mendingan KTP ini dititipkan ke
Pak Pulisi… Ya ndak? Nanti biar Pak Pulisi yang nganter ke pemiliknya…
Dan Sarimin pun kembali memikul kotak topeng
monyetnya. Musik tetabuhan mengiringi perjalanan sarimin. “Sarimin pergi ke
Kantor Pulisi…” teriak para pemusik riang bagai pertunjukan topeng monyet.
Tampak Sarimin berjalan menuju kantor
pulisi.
Musik terus mengiringi perjalannan Sarimin.
Pada saat inilah, aktor juga mulai menata setting untuk perpindahan adegan.
Menggeser beberapa dekorasi hingga terjadi pergantian ruang…
2.
Ahhirnya, Sarimin pun sampai di Kantor
Pulisi. Ia tampak kelelahan dan capai setelah berjalan jauh. Sarimin
memperhatikan Kantor Pulisi itu, tanpak sepi. Tak ada Petugas Jaga. Ia sejenak
clingukan, agak ragu memasuki halaman Kantor Pulisi itu. Ia berjalan pelan dan
sopan mendekat…
SARIMIN :
Permisi, Pak Pulisi….Asalamualaikum, Pak
Pulisi…
Mendadak nongol sosok Pulisi, yang langsung
sibuk mengetik begitu mengetahui kedatangan Sarimin. Maka Pulisi itu pun tampak
terus sibuk mengetik…
SARIMIN:
Wah…, Pak Pulisinya ternyata lagi sibuk…
Sibuk kok ya mendadak ya…
Pulisi itu terus mengetik, mengabaikan
Sarimin.
SARIMIN:
Ya sudah…, biar saya tunggu saja…(Lalu
menjauhi Pulisi itu, sementara suara mesin ketik terus terdengar, membangun
suasana) Yah, lumayan…, sambil nunggu bisa numpang istirahat… (Sembari
memijit-mijit kakinya yang terasa pegal-pegal atau sesekali meregangkan badan atau
mengeluk pinggangnya) Lagi pula saya juga lagi males keliling… Udah dari pagi
keluar masuk kampung, tapi nggak ada yang nanggap. Capek juga kan seharian
keliling tapi ndak dapet duit…
Sarimin mengeluarkan sebiji pisang dan
mengupasnya. Kemudian terdengar suara monyet, yang nangkring di kotak topeng
monyet itu. Monyet itu merajuk minta pisang yang dimakan Sarimin itu…
SARIMIN:
(Bicara pada monyet itu) Apa? Pingin?… Iya,
iya…, nanti saya bagi…
Sarimin mengambil monyetnya dengan penuh
perhatian, memangku monyet itu…
SARIMIN:
(Sambil mengelus-elus monyetnya, bicara
kepada penonton) Oh ya, kalian belum kenal toh sama monyet saya ini… Lah ya ini
yang namanya Sarimin… Kalau saya dipanggil Sarimin ya cuman karna kena efeknya
saja… Itu disebut The Sarimin Effect…
Monyet saya ini bukan monyet sembarangan
lho… Kalau ditelusuri garis keturunannya, dia itu keturunan monyetnya Si Badra
Mandrawata…
Para pemusik heran: “Siapa itu?”
SARIMIN:
Si Buta dari Gua Hantu…
Suara monyet itu terdengar senang, seperti
meloncat-loncat. Sarimin mulai menyuapi monyet itu dengan pisangnya.
sarimin-nyante-di-kanpol.jpg
SARIMIN:
Nih, kamu separo…
Tampak pisang yang dibaginya itu lebih
kecil. Monyetnya tampak senang. Tetapi, begitu mau menyuapkan pisang itu ke
monyetnya, pisang itu malah dimakan Sarimin sendiri. Hingga monyet itu
berterak-teriak. Tapi Sarimin terus mengunyah pisang itu buat dirinya sendiri…
Melihat itu, Para Pemusik pun berkomentar:
“Was, Mase ini, sama monyetnya sendiri kok pelit! Medit!”… “Sudah persis kayak
monyet lho Mase ini kalau makan pisang gitu!”…”Ngirit, ya Mas?”
SARIMIN:
Kalian itu jangan salah faham. Ini bukan
ngirit! Saya makan pisang begini ini karna saya lagi nglakoni ngelmu munyuk!
Tahu ngelmu munyuk, ndak? Ngelmu munyuk itu
ya ilmu kebajikan yang bersumber dari munyuk. Ada kitabnya! Namanya Kitab
Bantur Jambul Tangkur Munyuk.
Sarimin segera mengambil sebuah buku tua
dari kotak topeng monyetnya…
SARIMIN:
Nah ini kitabnya… Ilmu soal permonyetan ada
di sini semua. Kenapa manusia disebut keturunan monyet, ada penjelasannya di
sini. Juga soal Jaman Monyet… Nih… (membaca halman kitab itu) hamenangi jaman
monyet. Sing ora dadi monyet ora keduman. Sak begja-begjane wong sing dadi
monyet, isih luwih begja wong sing koyo monyet nanging kuoso…
Seorang Pemusik memotong: “Lho, kok
mendadak situ bisa baca? Tadi katanya nggak bisa baca. Nggak konsisten!”
SARIMIN:
Ini aksara Jawa. Honocoroko. Kalau huruf
Jawa saya bisa baca…
Gimana, mau tahu soal ngelmu munyuk, ndak?…
Lihat nih, halaman 79… (membaca) Living English Structure… Lho, kok malah
bahasa Inggris. Maaf, maklum saya belinya di loakan. Ini buku bajakan, jadi
halamannya kecampur-campur. Nah, ini… halaman 67… Di sini dijelaskan, kenapa
monyet suka pisang… Ini ada filosofinya. Ada maknanya.
Pisang itu buah yang murah. Artinya kita
harus pemurah. Mau berbagi. Maksudnya, hidup kita itu seyogyanya ya seperti
pohon pisang. Anda tahu kan pohon pisang? Setiap bagian dari pohon pisang itu
semuanya berguna. Tangkai daunnya bisa ditekuk-tekut, dibuat mainan
kuda-kudaan. Batang pohonnyanya buat nancepin wayang. Antok-nya, jantungnya,
bisa dibikin sayur yang enak.
Celoteh Pemusik: “Kalau pelepahnya, Mas?”
SARIMIN:
Pelepahnya? Ya bisa buat mainan plesetan….
Daunnya bisa dipakai buat mbungkus… Atau bisa juga di pakai buat payungan kalau
hujan. Bisa buat berteduh….
Berdasarkan ngelmu munyuk ini, pohon pisang
sebenarnya mengajarkan kita agar tidak egois. Karena pohon pisang memang bukan
pohon yang mementingkan dirinya sendiri. Pohon pisang itu beda dengan… pohon
beringin, misalnya. Ini misalnya lho ya… Kalau Pohon beringin itu kan cuman
mementingkan dirinya sendiri.
Kalian lihat sendiri kan, pohon beringin
itu tumbuh besar, tinggi menjulang, rimbun, tetapi ia menyedot kesuburan
pohon-pohon di sekelilingnya…
Celoteh Pemusik: “Ya, tapi kan Pohon
Beringin bisa buat berteduh. Kan bayak itu kere-kere yang suka berteduh di
bawah Pohon Beringin…”
SARIMIN:
Kalau yang suka berteduh sih bukan cuman
kere… Tapi juga keple… lonte…
Makanya, kalau orang yang pinter, pasti
ndak mau lagi berteduh di bawah Pohon Beringin. Seperti para Jenderal itu… Kan
sekarang banyak Jenderal yang memilih membikin dan membesarkan pohon sendiri…
Lebih senang membesarkan Pohon Gelombang Cinta… Seolah-olah mereka merasa masih
dicintai rakyat.
Nah, kalau sampai ada Jenderal yang terus
ngotot ikut berteduh di bawah Pohon Beringin, pasti agak diragukan
kredibilitasnya: ini Jenderal apa lonte…
Membuka-buka halaman kitab itu dengan
serius…
SARIMIN:
Makanya kalian mesti belajar ngelmu pisang.
Pohon pisang itu selalu membiarkan anak-anaknya tumbuh besar. Sampeyan tahu,
pohon pisang itu juga baru mati kalau sudah berbuah. Artinya, hidup kita itu
berbuah. Mesti membuahkan kebaikan. Jangan sampai kita mati tapi belum sempat
berbuat baik.
Celoteh Pemusik, agak meledek: “Kata
siapa…”
SARIMIN:
Lah ya menurut Kitab Bantur Jambul Tangkur
Munyuk ini… Kalau kalian baca kitab ini, pasti kalian ngerti ilmu sejati. Ini
ilmu tidak main-main. Ilmu filsafat tingkat tinggi. Tidak sembarang orang bisa
mempelajari. Otak anak-anak Jurusan Filsafat saja mungkin ndak nyampe kalau
mempelajari ini. Frans Magnis Suseno, Mudji Sutrisno, Pak Damardjati Supajar
juga ndak level ama ilmu ini. Makanya mesti hati-hati. Karna bisa-bisa nanti
kebablasen: begitu mempelajari ilmu sejati ini, langsung ngaku-ngaku jadi Nabi…
Ngelmu munyuk itu ilmu ketauladanan.
Mangsud-nya, banyak ketauladanan yang bisa kita pelajari dari monyet. Karena
kalau monyet suka pisang, sesungguhnya monyet itu sedang memberi kita tauladan
hidup. Makanya, kalau sekarang ini ndak ada tokoh atau pemimpin bangsa yang
bisa kita tauladani, kenapa kita ndak meneladani monyet saja? Ya, ndak?
Sementara itu terdengar suara ngorok…
SARIMIN:
Sudah ah, nanti saja lagi saya kasih tahu
soal ngelmu munyuk-nya… (Seperti tersadar kalau sudah lama menunggu)… Dari tadi
kok ya belum dipanggil-panggil ya….
Suara ngorok itu makin keras terdengar,
ternyata datang dari Kantor Pulisi. Tampak ruangan kantor itu sepi, hanya
terdengar suara orang tertidur ngorok…
SARIMIN:
Welah, Pulisinya malah ngorok…
Lalu Sarimin menuju meja jaga pulisi itu.
Tak tampak pulisi. Hanya terdengar suaranya yang mendengkur keras…
SARIMIN:
Maaf, Pak Pulisi… Saya cuman mau nyerahkan
KTP ini kok, Pak… Soalnya saya mesti pulang… Sudah sore….
Mendadak Pulisi itu bangkit, dan langsung
sibuk mengetik. Terdengar suara mesik ketik yang langsung sibuk…
(SUARA) POLISI:
(Membentak, sambil terus mengetik) Tunggu
saja dulu! Apa tidak liat saya lagi sibuk!
SARIMIN:
I..ya, Pak… Iya… Sibuk kok mendadak…
Pulisi terus terus mengetik, terus sibuk.
Sementara Sarimin hanya bisa memandangi dengan tatapan tak berdaya. Merasa
marah disepelekan, tetapi tak bisa apa-apa, hanya ngedumel…
SARIMIN:
Ama orang kecil kok ya selalu menyepelekan…
Coba kalau ndak pakai seragam, sudah saya plinteng matane…
Sarimin hanya bisa menunggu. Tapi kemudian
ia seperti sudah tak bisa menahan untuk kencing…
SARIMIN:
(Kepada penonton) Ee, tolong, nanti kalau
Pak Pulisinya nyari, bilang saya kencing dulu ya… Ke toilet bentar.
Sarimin kemudian bergegas hendak ke toilet,
tetapi mendadak terdengar bentakan:
(SUARA) POLISI:
Hai! Mau mana?!
SARIMIN:
Mau ke belakang, Pak…
(SUARA) POLISI:
Tunggu saja di situ!… Nanti saya panggil!
Dengan terbungkuk-bungkuk sopan Sarimin
akhirnya kembali duduk, tetapi tampak jengkel juga…
SARIMIN:
Gimana sih! Dari tadi cuman nyuruh
tungga-tunggu… Mau kencing bentar ajah ndak boleh… Sok kuasa! Sok merasa
dibutuhkan! Seneng kalau melihat orang menderita. Begitu kok ngakunya sahabat
rakyat…
Sarimin tampak gelisah menahan keinginannya
untuk kencing. Pada saat itu terdengar suara monyet yang menjerit-jerit,
membuat sarimin gugup dan panik.
SARIMIN:
(Menenangkan monyetnya yang mulai rewel)
Sstt! Jangan ribut, toh… Pak Pulisinya kayak buto galak. Nanti kamu dimarahin!
Monyet itu malah bertambah rewel, terus
memekik-mekik.
SARIMIN:
(Terus berusaha menenangkan monyetnya) Apa?
Haus? Pingin mimi, ya?
Mengambil botol air mineral dari kotak
pikulannya, tetapi botol itu ternyata sudah kosong…
SARIMIN:
Wah, habis… Sabar, ya… Ntar minum di rumah
saja ya… Cup cup cup… Bentar lagi kita pulang kok…
Tapi monyet itu makin rewel dan ribut…
SARIMIN:
Jadi monyet itu mbok yang sabar… Lama-lama
kamu itu ketularan manusia lho! Ndak bisa nahan sabar! Dasar monyet asu!
Monyet itu terus memekik-mekik minta minum.
Sarimin bingung. Ia melihat kepada Pulisi yang tampak sudah kembali tertidur
bersandar di depan mesin tiknya. Melihat Pulisi yang lelap itu, maka Sarimin
pun hati-hati menegendap-endap menuju toilet di bagian belakang…
Tampak silhuet Sarimin yang kencing, dan
menadahi air kencingnya dengan botol.
Sarimin kembali muncul dan segera ia
mendatangi monyetnya yang masih rewel. Dengan tenang Sarimin meminumkan isi
botol itu ke monyetnya…
SARIMIN:
Nih minum… Enak, kan? Dijamin fresh from
the batangan. Lagi ndak? Manis, kan? Lah wong saya kecing manis kok… Kalau gini
ada untungnya juga lho kena diabet…
Sarimin terus meminumkan isi botol itu pada
monyetnya, sampai kemudian monyet itu tampak tenang dan senang…
SARIMIN:
Monyet saya memang rada manja. Kalau sudah
kepingin ndak mau ditunda. Paling repot ya kalu pas dia lagi birahi pingin
kawin…
Seorang Pemusik nyeletuk bertanya:
“Memangnya itu monyet jantan apa betina?”
SARIMIN:
Monyet jantang dong…
Pemusik: “Memangnya gimana sih caranya
membedakan monyet jantan dan monyet betina?”
SARIMIN:
(Tampak sebel dengan pertanyaan itu) Ya
gampang… Tinggal kamu kawinin. Kalau hamil, berarti monyet itu betina. Gitu
saja kok repot! Mas, mbok kalau nanya itu yang cerdas, biar ndak bikin tambah
jengkel… Maaf lho ya kalau saya jadi ketus… Kamu kan lihat sendiri, dari tadi
saya sebel nunggu, lah kok malah ditanyain yang ndak mutu gitu! Sebel! Sebel!
Sebelll!!! Makanya kalian jangan nambahin sebel saya…
Melihat Sarimin marah begitu, para pemusik
langsung diam. Suasana jadi tidak enak. Sarimin hanya diam, gelisah, bingung
nggak tahu mesti berbuat apa. Sampai kemudian Sarimin mengeluarkan beberapa
alat atrasksi topeng monyetnya. Memain-mainkan payung kecil, gerobak kecil, dan
lainnya. Mencoba membunuh kegelisahannya. Mencoba menyibukkan diri. Tetapi ia
tetap merasa gelisah karena terus menunggu. Lalu ia melihat papan catur di atas
kotak peralatannya. Ia mengambil papan catur itu, lalu mengajak para pemusik
itu untuk menemaninya main catur…
SARIMIN:
Main catur yuk… Dari pada cuman bengong…
Tapi Para Pemusik tak menanggapi ajakan
itu: “Ndak”… “ Mase nesuan, sih!”
Kemudian Sarimin membawa papan catur itu,
mencoba mengajak para penonton untuk main catur dengannya,
SARIMIN:
Ayo, main catur yok… Masa segini banyak
ndak ada yang pinter main catur? Ada yang jadi penyair, ndak? Biasanya kalau
penyair itu pinter main catur… Soalnya job-nya dikit… Jadi banyak waktu luang
buat main catur. Ayo, main catur…. Nemenin saya… Mungkin ibu-ibu atau mba-mba…
Ayo, Mba…Main catur bareng saya…, dijamin tidak terjadi kehamilan…
Bener nih ndak ada yang mau main catur? Ya
sudah kalau ndak mau… Biar saya main sama monyet saya saja…
Lalu Sarimin menata bidak catur itu,
berhadap-hadapan dengan monyetnya…
SARIMIN:
Monyet saya ini lumayan cerdas juga kok
kalau main catur…. Saya sudah melatihnya main catur sejak dia masih kenyung,
masik kecil, masih balibul…
Seorang Pemusik bertanya: “Apa itu
balibul?”
SARIMIN:
Bawah lima bulan… Kalau saja saya punya
duit, pasti sudah saya sekolahkan di sekolah catur… Biar jadi Grand Master…
Ayo, Min, sini, Min…
Kemudian Sarimin pun bermain catur dengan
monyetnya. Suara monyet yang riang membuat Sarimin sedikit terhibur. Ia tampak
senang bisa bermain catur dengan monyetnya…
SARIMIN:
Ayo cepet jalan…. Kamu duluan… Eh, eh…
bentar… kamu putih apa hitam? Ya dah, kamu putih ya… Tapi aku jalan duluan lho
ya…
Lalu Sarimin dan monyetnya segera main.
Sarimin yang menjalankan bidak catur. Kemudian tampak bidak yang bergerak
sendiri, seakan-akan tengah dimainkan oleh monyet itu. Keduanya tampak asyik
dan serius.
SARIMIN:
Eeh, lho, kok mentrinya kok kamu makan…
Ndak boleh… Monyet dilarang makan mentri… Yang boleh ciak menteri itu cuman
mandatarisnya rakyat! Jangan sembrono lho kamu… Ayo ulang… Eh, tapi jangan
ngeper gitu dong! Kamu ini kok sukanya ngawur gitu sih!
Sarimin kelihatan jengkel…
SARIMIN:
Curang! Curang kamu! Bubar! Bubar!…
Suara monyet menjerit-jerit sementara
Sarimin dengan jengkel menutup papan catur itu dan menaruhnya kembali ke kotak
pikulannya. Monyet itu menjerit-jerit marah…
SARIMIN:
Sudah, diam toh! Kok malah kamu yang marah.
Mestinya saya jengkel. Sudah malem begini ndak dipanggil-panggil. Ngapain ajah
sih tuh Pulisi! (Menengok ke arah Pulisi, yang tampak lelap tertidur) Allaahh,
kok ya malah micek!
Sarimin mencoba mendekati Pulisi itu.
Begitu sarimin sudah dekat dan hendak menyodorkan KTP, mendadak Pulisi itu
bangun dan langsung sibuk mengetik. Suara mesin ketik yang sibuk membuat
Sarimin hanya bisa neraik nafas jengkel.
Lalu Sarimin menjahui Pulisi itu. Dan
begitu Sarimin sudah jauh, perlahan-lahan Pulisi itu pun kembali tidur,
menyandarkan kepelanya ke meja mesin ketik.
Sarimin menengok ke belakang, melihat
Pulisi yang kembali tidur. Maka Sarimin pun berbalik kembali mendekati Pulisi
itu. Baru saja Sarimin mau mendekat, Pulisi itu langsung jenggirat bangun dan
menyibukkan diri dengan mesin ketiknya. Melihat Pulisi itu kembali sibuk
mengetik, maka Sarimin kembali merasa jengkel, tak berdaya, dan mencoba kembali
menunggu. Dan begitu Sarimin menjauh, tampak Pulisi itu dengan penuh kemenangan
tidur kembali…
Begitu seterusnya, setiap kali Sarimin
mendekat, langsung saja Pulisi itu langsung bangun sibuk mengetik…
Sampai kemudian Sarimin tampak pasrah
menunggu. Ia kini terlihat mengantuk. Menguap. Meregangkan badannya yang pegel
karena lama duduk… Sarimin bangkit, hendak mendekati kembali Pulisi itu, tetapi
Puisi itu langsung bangun dan membentak:
(SUARA) POLISI:
Tunggu saja di situ!! Nanti saya panggil!!!
Sarimin, yang lelah dan tak tahu mesti
berbuat apa, segera kembali duduk menunggu. Ia merebahkan tubuhnya di kursi
tunggu itu. Mencoba tidur. Saat itulah sebentang kain perlahan turun, seperti
langit malam yang menebarkan kegelapan. Terlihat silhuet Sarimin yang tertidur.
Tampak cahaya bulan, malam dengan segala kesedihannya.
Nampak Sarimin yang bangkit, dan dengan
setengah mengantuk mendekati Pulisi jaga itu. Tapi kembali Pulisi itu langsung
membentak:
(SUARA) POLISI:
Tunggu saja di situ!!
Dengan lunglai Sarimin kembali masuk ke
balik tirai, kembali merebahkan tubuhnya. Tampak bayangan Sarimin yang tertidur
di bawah redup rembulan.
Kemudian pagi datang, terdengar kokok ayam.
Matahari yang cerah bangkit. Sarimin terbangun dari tidurnya, kaget…
SARIMIN:
` Astaga, sudah hari ke 192… Belum
dipanggil juga….
Lalu malam kembali datang. Rembulan
mengapung kesepian. Sarimin kembali tidur… Musik kesunyian seperti menghantar
perubahan hari.
Dan ketika ayam kembali berkokok, matahari
muncul, Sarimin pun langsung tergeragap bangun, dan mendapati dirinya masih
menunggu…
SARIMIN:
Hari ke 347….
Karena tak juga dipanggil, sarimin pun
kembali tidur. Musik yang galau bagai menggambarkan perasaan Sarimin yang
gelisah. Cahaya menggelap. 2 Lalu Waktu bagai terus berputar. Di bagian layar
belakang, muncul gambaran waktu berabd-abad…
Sementara waktu berubah, Sarimin terus
menunggu, memandangi KTP yang entah milik siapa itu…
3.
Mendadak Tukang Cerita muncul dari sisi
lain panggung. Pada saat yang bersamaan, silhuet Sarimin pada tirai itu
lenyap.3
TUKANG CERITA:
Begitulah, Sarimin dibiarkan menunggu
bertahun-tahun…
Sebagai Tukang Cerita saya perlu sedikit
mengingatkan, agar Anda jangan terlalu menyalahkan para petugas itu. Jangan
sampai Anda punya anggapan: seakan-akan para polisi itu menyepelekan Sarimin.
Sebagai warga negara yang baik dan yang
percaya pada integritas dan profesionalitas polisi, kita harus maklum akan
banyaknya urusan yang harus diselesaikan para polisi itu. Cobalah sesekali Anda
datang ke kantor Polisi. Pasti Anda akan melihat betapa setiap hari
polisi-polisi itu selalu tampak sibuk. Sibuk SMS-an… Sibuk ngobrol… Sibuk iseng
ngisi TTS… Sibuk menginterogasi penjahat…. Sibuk menangkap bandar narkoba,
sekaligus sibuk membagi-bagi barang buktinya…
Apalagi belakangan ini kesibukan Polisi itu
makin bertambah… Karena para Polisi itu lumayan repot menahan para koruptor.
Asal Anda tahu saja, menangkap koruptor itu pekerjakaan yang paling merepotkan.
Karna begitu ada koruptor tertangkap, maka para polisi itu jadi punya kesibukan
tambahan: sibuk menyiapkan karpet merah untuk menyambut koruptor itu… Sibuk
menyiapkan sel tahanan dengan fasilitas VVIP… Dan yang terpenting: sibuk
menegosiasikan pasal-pasal tuntutan yang saling menguntungkan.
Dengan segala macam kesibukan yang
bertumpuk-tumpuk seperti itulah, menjadi wajar kalau Sarimin agak sedikit
diabaikan.
Tapi untunglah… Untunglah, nasib baik agak
sedikit berfihak pada Sarimin. Suatu pagi, ada petugas yang sedang
bersih-bersih kantor polisi itu, dan secara tak sengaja melihat Saridin!
Musik tetabuhan transisi mengiringi
perubahan Tukang Cerita itu menjadi Polisi. Aktor itu mulai mengenakan kostum
untuk peran Polisi.
Dengan iringan musik, Polisi itu menata
setting, untuk pergantian adegan. Menata meja kursi, seakan tengah
berberes-beres. Musik mengiringi terus mengiringi adegan pergantian ini. Sampai
kemudian Polisi itu menarik tirai yang menutupi kursi di mana Sarimin menunggu,
seakan-akan ia tengah menarik tirai jendela. Saat tirai itu terangkat, Polisi
itu kaget melihat Sarimin di kursi tunggu itu…
POLISI
Astaga! Ini kok ada kere di sini!!
muncul-polisi-dan-boneka-sarimin.jpg
Di kursi itu kini tampak boneka Sarimin,
boneka yang secara visual mengingatkan pada sosok Sarimin…
POLISI:
Hai, ngapain kamu di sini?!
SUARA SARIMIN: 4
(Sambil menyodorkan amplop) Aa…nu, Pak..
Mau ngasih ini, Pak Pulisi…
Polisi itu memandang heran pada amplop di
tangan Sarimin.
POLISI:
Apa itu? Ooo, kamu mau nyuap saya? Iya?!
Oooo, hapa kamu pikir semua Polisi bisa disuap, begitu? (Penuh gaya) Huah ha
haha… Maaf ya, Polisi seperti saya pantang menerima suap…. Tidak mungkin. Tidak
mungkin… Polisi tidak mungkin mau menerima suap…
Mendadak dengan clingukan Polisi itu tengok
kanan kiri melihat-lihat keadaan…
POLISI:
Tapi ya kalau nggak ada yang liat sih ya
nggak papa… Berapa tuh isinya?
SUARA SARIMIN:
Ini bukan uang kok , Pak Pulisi… Isinya
cuman KTP… Saya mau titip…
POLISI:
(Jengkel) Cuman KTP kok ya dikasihkan saya!
Apa kamu nggak ngeliat saya banyak kerjaan… Kok malah ngrepotin mau titip KTP
segala!
Dengan ngedumel jengkel Polisi itu akhirnya
menerima amplop yang disodorkan Sarimin. Dengan tak terlalu suka Polisi itu
memeriksa isi amplop itu. Benar. Isinya KTP. Mula-mula Polisi itu tak terlalu
serius membaca KTP itu. Tetapi kemudian tampak tiba-tiba ekspresi Polisi itu
langsung kaget. Ia membaca nama di KTP itu dengan teliti.
POLISI:
Astaga! Ini kan KTP Bapak Hakim Agung!
Harataya…. Mbelgedes! Kok bisa KTP Bapak Hakim Agung sama kamu? Pasti kamu
curi, ya?!
SUARA SARIMIN:
Ti…tidak, Pak Pulisi! Saya nemu di jalan…
POLISI:
Nemu di jalan mana?
SUARA SARIMIN:
Di jalan Taman Lawang, Pak Pulisi…
POLISI:
Edan! Oooo… Ini keterlaluan! Masa KTP Hakim
Agung bisa jatuh di Taman Lawang… Tidak mungkin, tidak mungkin! Emangnya Hakim
Agung suka keluyuran ke sana! Oooo, apa kamu kira Hakim Agung itu jenis
mahasiswa yang nggak bisa bayar…, lalu ninggal KTP! Ooo jelas kamu mau
mencemarkan nama baik Hakim Agung!
Ooo ini bener-bener keterlaluan. Tidak bisa
dibiarkan! Ayo ikut saya ke kantor!
Musik menghentak, black out. Tembang
kecemasan terdengar. Kemudian ketika lampu menerangi panggung, tampak Polisi
yang sudah berdiri di dekat meja interogasi, memandang Sarimin yang duduk di
kursi, hingga Polisi dan Sarimin berhadap-hadapan.
POLISI:
Nggak usah gemeter begitu! Jawab yang
jujur! Nggak usah berbelit-belit! Ngerti?!
Polisi itu (seakan-akan) memasang berkas
kertas ke mesin tik di atas meja…
POLISI:
Nama?
SUARA SARIMIN:
Ee… saya biasa dipanggil Sarimin, Pak
Pulisi…
POLISI:
(Sambil mengetik) Sa-ri-min… (Lalu kembali
menatap tajam Sarimin) Umur?!
SUARA SARIMIN:
Lima puluh empat, Pak Pulisi…
POLISI:
(Sambil mengetik) Li-ma-pu-luh-em-pat…
Hmmm… Pekerjaan?!
SUARA SARIMIN:
Tukang topeng monyet keliling, Pak Pulisi…
POLISI:
(Sambil mengetik) Tu-ka-ng… to-pe-ng…
mo-nyet… ke-li-li-ng… Sekarang coba kamu jelaskan, bagaimana kamu mencuri KTP
ini…
SUARA SARIMIN:
Saya tidak mencuri, Pak Pulisi… Saya nemu
KTP itu di jalan…
POLISI:
Saya tanya bagaimana kamu mencuri KTP ini,
bukan bagimana kamu nemu KTP ini!
SUARA SARIMIN:
Lho tapi saya memang nemu KTP itu kok…
Sumpah! Saya tidak mencuri!
POLISI:
Tidak usah pakai sumpah-sumpahan segala!
Saya tahu kok modus operandi orang macam kamu! Pura-pura nemu KTP. Padahal
dompetnya kamu copet! Iya tidak?! Pura-pura berbaik hati hendak mengembalikan
KTP, padahal minta uang. Mau memeras! Kamu bisa kena pasal…. Sebentar…
(mengambil buku KUHP dari sakunya) Hmmm… halaman berapa, ya… Oh ini… Kamu bisa
kena pasal 362 dan 368! Pencurian dan pemerasan! Itu berate kamu bisa kena
sepuluh tahun! Ngerti!
Sarimin tampak mengangguk-angguk…
POLISI:
Ngerti tidak! Jangan cuman manggut-manggut
begitu! Nah, sekali lagi saya tanya baik-baik: kamu nyuri KTP ini kan?
SUARA SARIMIN:
Sumpah, Pak Pulisi… saya nemu di jalan…
Polisi itu mengambil pentungan,
memain-mainkannya, memprovosasi Sarimin, sambil terus mencecar,
POLISI:
Nyuri apa nemu?
SUARA SARIMIN:
(Melihat itu Sarimin agak jiper juga)
Ne..nemu, Pak Pulisi…
Polisi makin mencecar Sarimin…
POLISI:
Nemu apa nyuri?
SUARA SARIMIN:
Ne…ne..mu…
POLISI:
(Membentak keras, sambil seakan mau
menggebug Sarimin) Nemu apa nyuri?!
SUARA SARIMIN:
I..iya.. Pak, Polisi.. Mungkin ada orang
lain yang nyuri… Tapi saya cuman nemu kok, Pak Pulisi…
POLISI:
Oooo begitu ya…. Jadi ternyata kamu tidak
sendirian. Orang lain yang nyuri. Dan kamu yang pura-pura nemu. Hoo ho hooo…,
lumayan cerdik juga kamu, ya! Ho ho ho…kamu ketahuan, nyolong KTP!
Berarti kamu sudah merencanakan semua ini
dengan komplotanmu, kan?! Ini kejahatan berkelompok dan terencana. Kamu dan
komplotanmu hendak memeras Bapak Hakim Agung, begitu kan? Ooo… Ini namanya
kejahatan berkelompok dan terencana!
SUARA SARIMIN:
Sumpah, Pak Pulisi… Saya tidak tahu kalau
itu KTP Bapak Hakim Agung…
POLISI:
Mau mungkir, ya! Kamu kan bisa membaca nama
di KTP ini…
SUARA SARIMIN:
Sa..ya ti..tidak bisa membaca, Pak Pulisi…
POLISI:
Astaga! OO ho hoho… Kamu bener-bener
keterlaluan. Itu namanya menghina pemerintah! Kamu menghina pemerintah! Kamu
mau menjelek-jelekkan pemerintah!
Sudah sejak tahun 74 pemerintah memberantas
buta huruf! Sudah jelas-jelas pemerintah mengatakan kalau sekarang ini sudah
bebas buta huruf! Lho kok kamu berani-beraninya ngaku buta huruf?! Apa kamu mau
membuat malu pemerintah?! Mau mengatakan kalau pemerintah bohong, karena masih
ada orang yang buta huruf macam kamu! Ooo… kamu bisa kena pasal… (memebuka-buka
lagi buku KUHP-nya) Pasal berapa, ya… Kamu maunya kena pasal berapa?! Ooo…
ini.., pasal137… Penghinaan pada pemerintah!
SUARA SARIMIN:
Lho, tapi saya memang ndak bisa baca kok,
Pak Pulisi…
POLISI:
Sudah, nggak usah berbohong! Saya sudah
terlalu sering ngadepin bandit kecil tapi licik macam kamu! Pura-pura kelihatan
lugu. Pura-pura bodoh. Pura-pura tidak bisa membaca. Tampangnya sengaja
disedih-sedihkan, biar saya kasihan. Biar saya iba, lalu saya bebaskan… (Kepada
para pemusik, yang seakan-akan kini adalah juga polisi) Ooo dia kira Polisi
macam kita bisa dikibulin… Tukang kibul kok mau dikibulin!
Orang lugu macam kami inilah penjahat yang
berbahaya! Karena selalu memakai keluguan sebagai kedok kejahatan…
Kejahatan tetap saja kejahatan. Tidak
perduli kamu bisa baca atau tidak.
Polisi itu memperhatikan KTP itu pada
Sarimin…
POLISI:
Lihat KTP ini sampai lecek begini, pasti
sudah kamu simpan lama ya! Kamu pasti sengaja tidak cepat-cepat mengembalikan!
Pasti KTP ini kamu pamerin ke temen-temen copetmu kamu! Pasti statusmu jadi naik
di kalangan pencopet karena berhasil mencopet KTP Hakim Agung! Setidaknya kamu
ingin dianggap hebat karenasarimin-diinterogasi2.jpg punya KTP Hakim Agung!
Biar kamu disangka saudaranya Hakim Agung… Iya, kan?!
SUARA SARIMIN:
Tidak, Pak Pulisi… Sumpah… Wong begitu saya
nemu KTP itu, saya langsung lapor ke sini kok… Tapi saya malah disuruh nunggu
terus…
Mendengar jawaban itu Polisi langsung
marah, dan mau memukul…
POLISI:
Kurang ajar! Apa kamu pingin saya gebugin
kayak praja IPDN!…
Para Pemusik mencoba menengangan:
“Sabar….sabar….”
POLISI:
Hati-hati kalau bicara! Kamu bisa kena
pasal penghinaan pada aparat! Menuduh Polisi tidak cepat tanggap!
Kalau kamu memang bener-bener datang
melaporkan soal KTP ini, pasti petugas jaga akan langsung menanggapi. Ooo ho
ho… tidak mungkin, tidak mungkin polisi menyepelakan rakyat… Karna Polisi itu
sahabat masyarakat!
Polisi itu di mana-mana selalu melindungi rakyat!
Yah paling-paling ya ada polisi yang kesasar salah nembak rakyat… Tapi itu kan
ya hanya insiden… Insiden yang kadang direncanakan….
Polisi kemudian mengambil berkas kertas di
meja mesin tik, sambil menatap tajam pada Sarimin yang terdiam…
POLISI:
Sebagai Polisi, sudah barang tentu, saya
pun harus melindungi kamu… Ngerti tidak? Makanya, kamu juga mesti pengertian…
Ini, lihat (menyodorkan berkas kerast itu ke hadapan wajah Sarimin)…
Kesalahanmu sudah bertumpuk-tumpuk… Kalau
berkas ini saya bawa ke pengadilan, kamu bisa dihukum lebih dari 20 tahun
penjara… Bahkan mungkin lebih. Karna kamu mesti berhadapan dengan jaksa dan
hakim, yang pasti tidak ssuka dengan kamu!
Asal kamu tahu saja, ya! Jaksa-jaksa itu
selalu minta bayaran lebih banyak. Juga hakim-hakim. Sulit sekarang menemukan
hakim yang baik. Kalau kamu nggak ada duit, pasti dengan enteng hakim itu kan
menjebloskanmu ke penjara!
Kamu nggak ingin masuk penjara, kan?
Makanya, kamu nurut sama saya saja. Nanti laporannya saya bikin yang baik-baik.
Faham maksud saya?!
Tapi ya kamu tahu sendiri, itu perlu biaya.
Ooo ho ho ho…. ini bukannya saya mau minta duit lho ya… Tidak! Saya tidak
minta! Saya cuman menyarankan….
Para pemusik ikutan membujuk: “Iya, Min…
Sudahlah, Min… Selesaikan saja secata adat ketimuran, Min…”
POLISI:
Tapi ya terserah kamu. Sebagai Polisi yang
mengerti perasaat rakyat, ya saya hanya bisa membantu semampu saya. Saya
ngerti, kamu tidak terlalu punya duit. Makanya cukup 5 juta saja.. Kalau kamu
setuju, bekas ini langsung saya kip, dan kamu boleh pulang…
SUARA SARIMIN:
(Terpana tak percaya) Lima juta?… Saya ya
tidak punya uang segitu, Pak Pulisi…
Tampak Polisi itu mencoba sabar dan
pengertian,
POLISI:
Ya sudah… Karena kamu punya itikad baik, ya
bisa dikurangilah. Tiga juta, gimana?
SUARA SARIMIN:
Maaf, Pak Pulisi… Segitu saya juga ndak
punya…
POLISI:
Ooo ho ho ho… Ya, ya sudah…, jangan sedih
begitu. Saya kan hanya menawarkan. Kalau kamu masih keberatan ya bisa
disesuaikan semampu kamulah… Ngerti kamu?
SUARA SARIMIN:
I..i..iya, Pak Pulisi…
POLISI:
Nah, gimana kalau dua juta!
SUARA SARIMIN:
Maaf, Pak Pulisi… Saya ndak punya…
POLISI:
Kalau satu juta ..
SUARA SARIMIN:
Maaf, Pak Pulisi… Saya ndak punya…
POLISI:
Saya diskon lagi, deh Mumpung masih suasana
Lebaran, jadi bisa diobral… Gimana kalau lima ratus ribu…
SUARA SARIMIN:
Maaf, Pak Pulisi… Saya bener-bener ndak
punya…
POLISI:
Seratus ribu deh…Ya, ya, seratus ribu!
Hitung-hitung buat uang rokok. Oke?
SUARA SARIMIN:
Maaf, Pak Pulisi… Segitu juga saya ndak
punya…
Kesabaran Polisi itu rupanya sudah sampai
pada batasnya, dan ia langsung meledak marah,
POLISI:
Brengsek! Kamu bener-bener melecehkan saya!
Dimana saya taruh harga diri saya alau segitu saja masih kamu tolak!
Memang susah kalau urusan sama orang
miskin! Cuman dapat kesel Kalau kamu lebih suka ke pengadilan, silakan! Kamu
bisa membusuk di penjara 50 tahun!
SUARA SARIMIN:
(Takjub dan heran tetapi juga tak berdaya)
Cuman karna nemu KTP saya dihukum 50 tahun?
Polisi itu berdiri, dingin, tegas dan
formal:
POLISI:
Hukum tetap hukum, Saudara Sarimin! Atas
nama hukum dan undang-undang, Saudara Sarimin ditahan!
Musik menghentak. Dan lampu langsung
menggelap seketika…
4.
Mengalun tembang sedih yang menyayat hati…
Lalu di layar bagian belakang perlahan
muncul bayangan jeruji sel penjara. Lalu tampak bayangan Sarimin di balik
jeruji sel penjara itu. Sarimin tampak termenung, tak berdaya. Tembang
kesedihan terus menyayat kesunyian…
SUARA SARIMIN:
Apa salah saya, Gusti?… Apa salah saya…
Lalu mendadak muncul bayangan monyet
Sarimin. Seperti muncul dari dalam mimpi Sarimin, seakan-akan itu ada dalam
pikiran Sarimin. Terdengar suara monyet yang memekik-mekik…
SARIMIN:
Min? Sarimin… Itu kamu ya, Min? Lapar,
Min?… Prihatin dulu, ya, Min…Banyak berdoa ya, Min… Biar saya cepet bebas. Doa
monyet miskin dan teraniaya macam kamu kan biasanya didengar Tuhan, Min…
Bayangan monyet itu terus menjerit-jerit.
Dalam bayangan itu pula, sesekali Sarimin mencoba mengusap dan menyentuh
monyetnya…
Lagu kesedihan, yang juga terkesan agung
menggaung, menjadi latar belakang adegan itu…5
Pak Hakim dan Pak Jaksa
Kapan saya akan di sidang
Sudah tiga bulan lamanya
Belum juga ada panggilan
Saya ingin cepat pulang…
5.
Lalu di penghujung lagu itu, musik berubah
menghentak, bergaya hip-hop. Pada saat musik hip hop ini berlangsung, setting
pun perlahan-lahan berubah. Bayangan Sarimin di balik jeruji penjara lenyap.
Sementara di bagian lain panggung, segera tampak ruang tempat Pengacara.
Muncul Pengacara, tampak riang, dengan gaya
genit cosmopolitan yang penuh gaya. Pengacara itu langsung menyuruh musik
berhenti:
PENGACARA:
Hai, stop! Stop! Bah, kalian ini
bener-benar tidak punya rasa keadilan! Ada orang dihukum malah hip-hop
hip-hopan begitu! Cem mana pula kalian ini! Tunjukanlah simpati dikit!
Sembari bicara, pengacara itu merapikan
diri, mengatur penampilannya. Memakai kalung emas dengan bandul initial namanya
yang besar. Merapikan pakaiannya, merapikan gaya rambutnya, menyemprotkan
minyak wangi ke tubuhnya… Sehingga tampak kalau ia lebih sibuk dengan dirinya
ketimbang dengan apa yang dikatakannya…
PENGACARA:
Kalian itu mestinya prihatin, kenapa di
negara hukum begini kok ada orang diperlakuan tidak adil! Ah, emang benar-benar
sewenang-wenang Pak Polisi itu. Sebagai pengacara yang punya hati nurani, sudah
tentulah aku tak bisa berdiam diri!
Pengacara terus sibuk merapikan diri,
sampai kemudian ia seperti tersadar, dan segera bicara kepada penonton:
PENGACARA:
Sebentar…Kalian pasti merasa heran, kenapa
pengacara kondang…, pengacara infotaimen macam aku ini, tiba-tiba nongol di
lakon beginian.
Seharusnya tadi, Si Tukang Cerita itu, yang
memperkenalkan aku lebih dulu. Menjelaskan, apa peran aku dalam lakon ini.
Begitulah semestinya…
Tapi kupikir-pikir, kalau si Tukang Cerita
itu yang memperkenalkan, nanti diledek-ledeknya pulalah aku ini. Mangkanya,
kupikir-pikir lebih baik aku muncul saja langsung. Biar aku sendiri yang
memperkenalkan diri.
Dengan penuh gaya menyemprotkan parfum ke
lehernya…
PENGACARA:
Nama saya Bensar… Aku yakin kalian sudah
tahu, dari mana aku ini. Tapi tak usahlah aku kasih tahu marga aku… Nanti aku
kena somasi…
Aku di sini terpanggil karena ingin membela
Sarimin. Kasihan kali orang itu. Kemarin aku sudah ketemu dia. Aku langsung
jatuh iba. Tergerak hati nuraniku untuk membelanya habis-habisan.
Begitu Abang Bensar datang, Sarimin
langsung tenang. Aku sudah jelaskan duduk perkaranya, dan
kemungkinan-kemungkinan yang bisa menyelamatkannya.
Aku bilang pada Sarimin, ”Sarimin,
seharusnya kau ini malah merasa beruntung bisa masuk penjara. Susah lho ini
masuk penjara… Coba itu kau lihat, banyak kali koruptor yang bermimpi bisa
masuk penjara, tapi tak bisa-bisa masuk… makanya kubilang, kau ini benar-benar
beruntung. Tidak berbuat salah, tapi masuk penjara. Itu prestasi luar biasa…
Makanya Sarimin, tak usahlah kau takut! Ketaktan itu cumian soal pikiran. Kalau
pikiranmu takut, maka takutlah kau. Makanya jangan kau berpikir hukum itu
menakutkan. Hukum itu menyenangkan. Happy!
Kemudian Pengacara Bensar langsung
merapikan bawaannya: tas golf beserta isinya. Ia Tampak riang bernyanyi-nyanyi
gaya hip hop:
Happy happy
Hukum itu happy
Hukum itu menyenangkan
Hukum menguntungkan
Karna dengan hukum
Semua kesalahan
Bisa dinegosiasikan…
Hapy happy…
Hukum itu happy…
Sambil terus bernyanyi pengacara itu
bergerak sambil mengubah setting panggung. Tampak kemudian sel penjara, di mana
seakan-akan Pengacara itu berjalan dari rumah menuju ke sel penjara, tempat
Sarimin di tahan. Dan Pengacara itu pun sampai di dekat sel Sarimin…
PENGACARA:
(Masih terus menyanyi) Happy happy…. Semua
bisa Happy…
Sampai kemudian nyanyian berhenti. Dengan
gayanya yang khas, Pengacara Bensar kembali menyemprotkan minyak wangi ke
tubuhnya…
PENGACARA:
Bagimana Sarimin, apakah kamu merasa happy
hari ini? Tenanglah, ini Abang Bensar sudah datang. Abang akan negosiasikan
semua perkara kau.
Mengerti kau negosiasi?! Ah, sudahlah, tak
usah kau berpikir yang berat-berat. Biar aku yang pikir saja gimana baiknya.
Percayalah sama Abang…
Apa sih perkara yang tidak bisa abang
selesaikan? Artis yang mau cerai…, begitu Abang tangani, dijamin langsung
cerai. Terdakwa ilegal logging…, begitu Abang tangani, dijamin bisa langsung
bebas kabur ke luar negeri…
Makanya, kau tenang saja di situ… Biar aku
urus sebentar sama Pak Polisi. Biar lancar semuanya…
Lalu Pengacara berjalan ke arah belakang,
seakan mendekati Polisi yang ada di pengacara-dan-wayang-polisi2.jpgbelakang.
Dan Pengacara bensar pun berbicara dengan Polisi, yang tampak bayangannya,
berupa wayang…
PENGACARA:
Ah, Apa kabar, Pak… Wah, tambah ganteng
saja nih… Mungkin Bapak bisa tolong belikan makan atau minum buat klien saya…
Nanti kembaliannya buat Bapak….
(SUARA ) WAYANG POLISI:
Maaf, dilarang membawa makanan dalam
penjara!
PENGACARA:
Ah, aneh kali ini Pak Polisi… Kenapa
makanan dak boleh masuk penjara? Narkoba saja bisa dibawa masuk ke penjara.
Kimbek kali! Ingatlah Pak Polisi…, klien aku itu masih berstatus tersangka.
Masih tahanan sementara. Jadi mesti kau hargai hak-hak pidananya.
(SUARA ) WAYANG POLISI:
Semua ada tata tertibnya. Ada peraturannya.
Ada etikanya! Sebagai Pengacara, Saudara mestinya tahu itu!
PENGACARA:
Betul-betul aneh ini Polisi! Baru kali ini
ada polisi mengajak bertengkar pengacara. Biasanya polisi macam kalian itu kan
bertengkarnya sama tentara…
Tampak Pengacara Bensar kesal, dan segera
meninggalkan Polisi itu. Ia segera kembali ke dekat sel penjara Sarimin.
PENGACARA:
(Kepada Sarimin) Biarlan nanti aku atur
sama komandannya. Polisi emang suka berlagak begitu. Suka akting. Lagaknya
kayak Politron… Polisi Sinetron…
Sekarang kau dengar… Biar semua gampang dan
cepet beres, aku sarankan agar kau akui saja semuanya. Ini akan jadi kredit
point yang bagus, karna kamu akomodatif. Artinya kamu dianggap bersikap baik
Kalau kau bersikap baik, pasti nanti hakim akan member kau keringanan hukuman.
Jadi, yang penting sekarang ini kau harus mengaku salah…
SUARA SARIMIN:
Mengaku salah bagaimana? Memangnya saya
salah apa?
PENGACARA:
Aduuh! Kan tadi aku sudah bilang, tak
perlulah kau membantah. Apa kau pikir kalau kau melawan kau akan menang.
Jangankan orang kecil macam kau, majalah Time yang besar saja bisa divonis
kalah kok! Makanya aku bilang, peluang terbaikmu adalah mengaku salah!
SUARA SARIMIN:
Iya… tapi salah saya apa?
PENGACARA:
Salah kau ya karna kau tidak mengerti kau
berbuat salah! Bodoh betul kau ini ya… Kau pikir kau berbuat benar. Padahal kau
berbuat salah. Kebenaran itu kadang menyesatkan, Sarimin. Kau bukannya benar,
tetapi hanya merasa benar. Orang yang merasa benar itu belum tentu benar.
Makanya ketika kau merasa benar, kau justru bisa bersalah. Karna benar, maka
kamu salah!
Kau harus fahami betul itu. Makanya aku
membantu kau, agar kau tidak tersesat di jalan yang kamu anggap benar itu! Kau
mestinya beruntung aku mau jadi pembela kau.
Mendadak terdengar suara bunyi handphone,
dengan nada dering yang norak… Pengecara Bensar dengan penuh gaya langsung
mengambil handphone dari sakunya,
PENGACARA:
(Bicara di handphone-nya) Hallo
sayang…Abang lagi sibuk nih. Lagi ketemu klien.. Sudahlah, kamu chek in dulu
lah. Nanti Abang susul, ya…
Lalu mematikan handphone-nya, dan masih
dengan penuh gaya bicara kembali pada Sarimin di balik selnya…
PENGACARA:
Maaf, bukannya gaya… Tapi ada klien lain
yang mesti aku urus. Yah, maklumlah pengacara laris. Sudah pastilah orang
miskin macam kau tak mampu membayar aku. Makanya kau mesti bersyukur, aku mau
membela kau!
Aku tahu, banyak suara-suara miring di luar
sana. Menganggap akupengacara mata duitan. Malah oleh kolega-koleganya saya
sering distilahkan dengan pengacara begundal. Taik kucinglah semua! Pukima!
Sekarang aku mau buktikan, kalau aku juga
punya perasaan keadilan. Aku juga mau membela orang lemah macam kau, Sarimin!
Aku akan berjuang habis-habisan buat kau! Kalau perlu, nanti akan aku bentuk
TPS… Tim Pembela Sarimin!
Memperlihatkan koran pada Sarimin…
PENGACARA:
Kau lihat ini… Kamu jadi berita di
koran-koran., karna kau dianggap korban ketidakadilan..
Terlihat koran dengan berita Sarimin yang
jadi headline itu kepada para pemusik. Pada saat bersamaan para pemusik segera
bernyanyi, menghentak, dengan gaya hip hop yang rampak:
Sarimin jadi berita
Di koran-koran mendadak ia
Jadi ternama
Simbol korban ketidakadilan
Seolah-olah hukum adalah
Alat menindas orang yang lemah…
Seolah-olah tak ada lagi
keadilan di negri ini
Brengsek! Brengsek!
Hukum kita brengsek
Brengsek! Brengsek!
Semua orang bilang
Hukum kita brengsek!
Nyanyian berhenti. Pengacara itu kaget.
PENGACARA:
Apa kau bilang? Hukum kita kita brengsek??
Tidak betul itu! Hukum di negeri ini tidak brengsek… tapi luar biasa brengsek!
Kembali mendekati dan bicara pada Sarimin…
PENGACARA:
Tapi kita tak bolehlah putus asa… Aku yakin
aku masih bisa membantumu, Sarimin. Aku jamin, kamu akan mendapat bagian
keadilan. Memang kau tak akan menang. Tapi kau akan bangga, karena namamu akan
dikenang. Kau akan jadi simbol dari perjuangan menegakkan keadilan. Ini peluang
bagus buat kamu, Min… Artinya kalau kau nanti mati, kau tidak akan mati
sia-sia!
SUARA SARIMIN:
Saya sudah tua… mati juga tidak apa-apa…
PENGACARA:
Eee, janganlah kau mati begitu saja. Nanti
sia-sia aku membela kau!
Dengar ya, Min… Syarat untuk jadi simbol
perjuangan, kau harus mati secara dramatis. Pejuang terkadang dikenang bukan
karna apa yang telah dilakukannya, tetapi pada bagaimana cara matinya. Semangkin
dramatis kematiannya, semangkin hebatlah dia…
Nah, makanya, nati biar aku aturlah sama
Polisi itu, bagaimana baiknya cara kau mati. Aku sih kau mati dengan cara yang
heroik. Mungkin diracun arsenik. Tapi aku kira itu bukan cara mati yang kreatif.
Mesti lebih dramtis dikitlah. Mungkin kau disiksa lebih dulu. Di cabut sati
persatu jari kau, lalu dicongkel mata kau… wah, itu kematian yang dramatis,
Min! Gimana? Kamu mau kan?
Kalau kau mati dengan cara seperti itu,
maka kematian kau itu akan dikenang sebagai korban kekejaman hukum. Namamu akan
dijadikan monumen abadi… Itu berarti kau untung, dan aku pun untung. Itu
primsip keadilan dalam hukum, Min! Kau untung jadi simbol ketidakadilan, aku
pun untung karena jadi pembela korban ketidakadilan…
Pengacara itu nampak begitiu bahagia,
memeluk tas golf-nya, mengambil kaca rias dan mengamati wajahnya, merapikan
sisiran rambutnya, bahkan ia memupur pipinya dan mengoleskan lips gloss pada
bibirnya, sambil terus berbicara…
PENGACARA:
Bayangkan, Min… Aku akan bisa mensejajarkan
namaku di barisan para pejuang hukum. Pejuang keadilan! Ini peluang baik buat
karier kepengacaraanku. Siapa tahu nanti aku bisa dapat Yap Tiap Him Award…
Makanya, Min, kau harus mengaku salah! Itu
namanya kamu dapat karunia kesalahan! Kamu telah dipilih oleh Tuhan untuk
menjadi orang yang salah…
SUARA SARIMIN:
(Begitu memelas) Saya ndak ngerti… Omongan
sampeyan malah bikin saya bingung…
PENGACARA:
Jangankan kamu, saya sendiri kadang bingung
dengan omongan saya kok… Maklumlah, Min, omongan pengacara…
SUARA SARIMIN:
Saya berbuat baik, kok malah disuruh ngaku
salah… Menurut Kitab Bantur Jambul Tangkur Munyuk, berbuat baik itu ndak salah
kok…
PENGACARA:
Eee, jangan ngacau kau. Bertahun-tahun aku
belajar hukum, tidak ada itu…apa kau bilang tadi? Apa? Kitab Bantur Jambul
Tangkur Munyuk… Ahh, tidak ada itu kitab hukum macam itu! Ngaco kali kau!
Sudahlah! Kau ngaku salah apa susahnya sih!
Bagaimana mungkin aku bisa membela kau kalau kau tidak bersalah.
Lagi pula Pak Polisi itu sudah bilang kau
bersalah. Bagaimana mungkin kau masih saja merasa tidak bersalah, kalau Polisi
sudang bilang kau bersalah.
SUARA SARIMIN:
Jadi saya harus ngaku salah?
Mendadak terdengar suara bentakan Polisi,
bersama menculnya bayangan wayang Polisi…
SUARA POLISI:
Sudah ngaku saja salah. Sudah dibela masih
saja ngeyel tak bersalah! PENGACARA:
Tuh, dengar apa kata Pak Polisi… Aku mau
membela kau kalau kau mau ngaku bersalah, Min! Pengacara macam aku ini sudah
terbiasa membela orang yang salah, nanti aku malah bingung kalau membela orang
tidak bersalah. Makanya, kamu mengaku salah saja ya, Min…
Terdengar suara wayang Polisi, membentak
Sarimin,
SUARA POLISI:
Kalau kamu ngaku salah, nanti saya atur
sama Mas Pengacara…
PENGACARA:
Orang salah ngaku salah itu sudah biasa.
orang yang bener tapi mau ngaku salah, itu baru mulia! Makanya kalau kau ngaku
salah, kau akan jadi orang mulia!
Kembali suara wayang Polisi, membentak
Sarimin,
SUARA POLISI:
Kamu tak punya pilihan, Sarimin! Kamu tidak
bisa melawan hukum! Hukum telah menganggapmu bersalah!.. Bersalah!… Bersalah!
Bersalah!…
Suara Polisi yang meninggi itu kemudian
menjadi gema: “Bersalah! Bersalah! Bersalah!” Makin lama gema suara itu makin
membahana, seperti mengepung dan mengurung Sarimin…
Bersamaan dengan itu, lampu perlahan-lahan
meredup, menggelap. Hingga yang terdengar hanya gema suara Polisi dan Pengacara
yang saling bersahut-sahutan, berulang-ulang, saling tumpuk, dan terus
mengepung menggema:
GEMA SUARA PENGACARA:
Kau mesti beruntung karena menjadi orang
yang terhukum, Sarimin!
GEMA SUARA POLISI:
Kamu telah menghina Bapak Hakim Agung!
GEMA SUARA PENGACARA:
Kamu telah dipilih Tuhan untuk menjadi
orang yang bersalah!
GEMA SUARA POLISI:
Kamu berbahaya karena bersikeras merasa
benar!
Bersamaan dengan gema suara-suara itu, di
bagian belakang layar muncul bayangan-bayangan yang berlesetan. Bayang-bayang
wayang Polisi dan Pengacara, bayang-bayang yang bertumpuk-tumpuk, berkelebatan,
kadang bayang-bayang itu membesar dan seakan siap menerkam, bersamaan dengan
gema suara yang tumpang tindih dan berulang-ulang:
GEMA SUARA PENGACARA:
Kau harus merasa beruntung karena kau
menjadi orang yang terhukum!
GEMA SUARA POLISI:
Kamu telah menghina Bapak Hakim Agung!
GEMA SUARA PENGACARA:
Kamu telah dipilih Tuhan untuk menjadi
orang yang bersalah!
GEMA SUARA POLISI:
Kamu berbahaya karena bersikeras merasa
benar!
Di antara gema suara yang terus
bersahut-sahutan itu terdengar rintihan Sarimin…
SARIMIN:
Ampun… Ampun…
Lalu suara-suara yang bergema itu perlahan
menghilang. Ada kesunyian yang membentang. Lalu cahaya yang pucat dan layu
bagai membelah kepedihan. Cahya itu menyorot ke Sarimin, yang tampak tak
berdaya di balik jeruji sel penjara. Kesunyian yang menekan tampak bagai jaring
yang meringkus Sarimin.
Pada layar di bagian belakang, muncul
bayangan yang samar, simbolis, semacam Dewi Keadilan, sosok yang menggambarkan
kehadiran Hakim Agung…
SARIMIN:
Maafkan saya, Bapak Hakim Agung…
Terdengar sosok Hakim Agung di bayangan
layar itu berbicara pada Sarimin. Suara dingin dan datar:
SUARA HAKIM AGUNG:
Kalau saja saya bisa memaafkanmu, Sarimin…
SARIMIN:
Maafkan saya…
SUARA HAKIM AGUNG:
Tapi hukum tidak bisa ditegakkan dengan
maaf, Sarimin..
SARIMIN:
(Menghiba) Maafkan saya…
SUARA HAKIM AGUNG:
Kamu jangan salah faham, Sarimin… Bukan
saya yang menghukum kamu. Hukumlah yang menghukummu…
SARIMIN:
(Makin menghiba) Ampuni saya…
SUARA HAKIM AGUNG:
Hukum punya jalan keadilan sendiri,
Sarimin.
Makin lama Sarimin makin menghiba dan mulai
merangkak-rangkak, bersujud di bawak sel penjara…
SARIMIN:
(Makin menghiba tak berdaya) Ampuni saya…
SUARA HAKIM AGUNG:
Tak ada gunanya kamu merasa benar kalau
hukum mengganggpmu tidak benar…
SARIMIN:
Maafkan saya… Maafkan saya… Maafkan saya…
SUARA HAKIM AGUNG:
Biarlah hukum yang menentukan, Min… Bukan
saya…
Di bagian layar itu pula, muncul bayangan
monyet, yang menjerit-jerit, muncul di sela-sela gema suara Hakim Agung
SUARA HAKIM AGUNG:
Bukan kamu… Hanya hukum yang benar…
Kembali terdengar suara monyet
memekik-mekik…
SUARA HAKIM AGUNG:
Bukan saya… Bukan kamu…
Sementara Sarimin terus menghiba memohon
ampunan…
SARIMIN:
Maafkan saya… Maafkan saya… Maafkan saya…
Maafkan saya…
SUARA HAKIM AGUNG:
Ini Negara hukum…. (Terdengar suara
monyet)… Ini Negara hukum…. (Terdengar suara monyet)… Ini Negara hukum…
(Terdengar suara monyet)…
Suara Hakim Agung terus terdengar bertumpang
tindih dengan suara pekikan monyet, sementara Sarimin terus merangkak-angkak,
bersujud…
Sampai kemudian Sariin merasa aneh dengan
gema suara Hakim Agung dan suara monyet yang bagai mengepung menerornya itu.
Sarimin jadi termangu, memandang bingung ke luar penjara saat gema semua suara
itu melenyap. Segalanya bagai di ruang hampa…
SARIMIN:
Aneh… Tadi itu suara Hakim Agung atau suara
monyet ya?!
Gelap menyergap seketika. Black out!!
SELESAI.
Yogyakarta, 2007
Catatan-catatan tekhnis:
1 Nama ini boleh diganti, dengan nama
penonton yang hadir. Penonton yang dikenal sebagai public figure, yang familiar
dengan audience.
2 Di sinilah, secara tekhnis, aktor
pembantu mulai menempatkan diri di balik tirai. Sementara aktor utama, pelakon
monolog ini, bisa mempersiapkan diri mengganti kostum untuk adegan berikutnya.
3 Ini menjadi semacam trick pemanggungan:
hingga muncul kejutan, seperti sulap, seakan aktor itu bisa berubah dalam
sekejap. Padahal, yang di balik layar tadi adalah pemeran pengganti (yang
secara postur dan bentuk tubuh, sama dengan aktor pemeran monolog ini)
4 Pada saat dan selama dialog Sarimin,
boneka itu ‘bergerak’ mengikuti dialog. Secara tehknis yang menggerakkan boneka
itu bisa crew artistik atau yang membantu. Tapi akan lebih bagus bila yang
menggerakkan boneka itu justru aktor pemeran monolog ini sendiri. Di sini,
secara tekhnis suara Sarimin juga bisa disuarakan oleh aktor monolog ini secara
langsung dengan intoneasi dan karakter suara yang berbeda.
5 Di sini dipilih lagu dangdut “Tembok
Derita”. Lagu ini dibawakan dengan gaya agung, bergaya Gregorian, hingga muncul
semacam parody dari lagu dangdut itu, sekaligus menjadi gambaran suasana yang
anomaly.
0 comments:
Post a Comment