Monday, March 31, 2014

P A R

Masjid adalah sebuah sebuah sarana ibadah yang khas. Dia dibangun atas dasar kebutuhan, tidak ada kepemilikan secara personal, ikatan emosional dengan jamaahnya sangat bagus, tidak punya cacat (karena tidak ada pemiliknya), tersebar diseluruh penjuru komunitas warga masyarakat, mudah menerima ide dan gagasan baru yang lelbih bermanfaat bagi warga dan masih banyak lagi potensi strategis yang dimiliki oleh masjid. Potensi masjid dan mushalla yang begitu besar terasa belum dimanfaatkan secara maksimal untuk kemakmuran masyarakat lingkungannya. Maka tidak heran apabila ada pendapat bahwa masjid sama sekali tidak peduli dengan persoalan yang terjadi pada jamaahnya. Padahal pada zaman nabi, masjid menjadi Pusat Pengembangan Sumberdaya Ummat. Seluruh persoalan warganya dibicarakan dan dipecahkan melalui masjid, misalnya soal ekonomi, sosial, politik, budaya dan pendidikan. Karena itulah ketika Nabi hijrah ke Madinah, pertama-tama yang dibangun adalah masjid dan pasar.

Masjid sebagai lembaga dakwah yang memiliki tugas membangun kesadaran kolektif para jamaahnya, lembaga ini tidak hanya memiliki kewajiban untuk menyampaikan pesan ilahiyah melalui khotbah (bil-lisan) sebagai tugas kependetaan, tetapi juga, dengan tindakan (bil-khal) sebagai tugas kenabian. Dalam banyak hal orang miskin tidak hanya membutuhkan  khotbah bahwa kemiskinan bukanlah sebuah nasib melainkan sebagai hasil kontruksi sosial, tetapi yang terpenting bagaimana kemiskinan itu harus diubah.

Dalam konteks ini para agamawan memiliki tugas untuk memperbaharui tafsir teologi kemiskinan yang lebih progresif, kontekstual, yang sesuai dengan semangat zaman, yang bukan saja untuk mempertajam kepekaan terhadap kemiskinan dan krisis moralitas, tetapi juga, mendorong   semangat yang lebih rasional dan asketisme dalam menanggapi kebutuhan hidup di dunia (inner worldly) serta menipiskan  semangat  skriptualis, legalistik,  serta pelembagaan sikap mistik, yang cenderung meligitimasi kegagalan. Singkatnya agama harus difungsikan  sebagai generator kesadaran dalam melakukan revolusi kebudayaan untuk pengentasan kemiskinan.

Keterlibatan lembaga keagamaan dianggap strategis, mengingat lembaga-lembaga itu lahir, berkembang dan hidup di tengah-tengah masyarakatnya.  Sebagai lembaga kemasyarakatan, umumnya  memiliki fungsi ganda. Di satu pihak sebagai lembaga pendidikan keagamaan, ia bukan hanya mendapatkan kepercayaan tinggi dari masyarakat sekitarnya, tetapi juga,  menjadi tempat  berbagi pendapat  tentang segala persoalan kehidupan yang sedang dihadapi. Masalahnya sebagai lembaga pendidikan keagamaan, ia  tidak di design sebagai lembaga advokasi atau sebagai problem solver terhadap masalah masyarakat sekitarnya, termasuk dalam pengentasan kemiskinan. Di lain pihak sebagai lembaga keagamaan, ia tidak memiliki cetak biru; bagaimana seharusnya  kemiskinan itu dientaskan. Satu-satunya modal  sosial yang dimiliki adalah “kepercayaan” (trust). Betapapun kepercayaan telah menjadi basis utama dalam membangun relasi sosial, tetapi trust saja tidak mencukupi jika tidak dilembagakan  dalam organisasi.

Dengan kata lain jika lembaga keagaman ingin dimanfaatkan sebagai  ujung tombak pengentasan kemiskinan, paling tidak ada beberapa kebutuhan  yang perlu dipersiapkan. Pertama, secara internal lembaga keagamaan masih membutuhkan penguatan kelembagaan dirinya-sendiri, khususnya yang berkaitan dengan pengetahuan manajerial tentang bagaimana pemberdayaan  masyarakat miskin itu seharusnya  dilakukan. Kedua, secara eksternal lembaga keagamaan, idealnya perlu  dipersiapkan secara semi-permanen  sebagai poros perubahan masyarakat sekitarnya, khususnya dalam pengentasan kemiskinan. Dalam konteks ini setiap lembaga keagamaan (masjid)  membutuhkan mitra strategis lembaga-lembaga lain  yang memiliki kepedulian yang sama terhadap pengentasan kemiskinan.

Di atas segalanya - agama harus bersatu-padu dan bekerjasama dalam memerangi kemiskinan sebagai musuh bersama, daripada membesar-besarkan perbedaan ritual keagamaan yang ujung-ujungnya memupuk perbedaan sebagai memicu konflik sosial. Sudah waktunya, semua aliran Islam di Indonesia meredefinisi diri sebagai kekuatan perubahan (the power of change) bagi umatnya dengan mengobarkan  ethos kerja keras, ulet, tahan banting, mengutamakan kualitas, berani menggambil risiko dsb,  sebagai ”panggilan” (beruf)  Tuhan untuk dalam memakmurkan bumi-Nya (ta’mir al-ardl). Sukses ’duniawi’ seperti itu tidak ragu lagi merupakan tanda-tanda bagi pemeluk yang terpilih (Al-Nahl-16: 122) dan sebaliknya  kegagalan yang bersumbu pada kemalasan dan kebodohan merupakan isyarat yang jelas sebagai orang yang tidak terpilih.

Satu hal yang harus diingat bahwa dalam paradigma pembangunan manusia seutuhnya, upaya pengentasan kemiskinan,  tidak sekedar dipahami sebagai upaya pembebasan masyarakat miskin dari indikator-indikator konvensional (pemenuhan sandang, pangan, dan papan) yang bersifat serba agregat (terukur), tetapi juga, merupakan usaha untuk memposisikan masyarakat miskin memiliki: harga diri (self esteem), kemulian (dignity), kemandirian (independence),   pengakuan (recognition) dan kebebasan (freedom). Kebebasan, disini harus dipahami secara lebih luas yakni terbebasnya masyarakat miskin dari  pengasingan hak hidup material yang layak, kebebasan dari penindasan dan eksploitasi, kebebasan dari ketidak-pedulian orang lain dan kebebasan dari kesengsaraan dan kemelaratan ( Denis Goulet, 1977, Moeljarto, 1987).  Dengan demikian pengentasan kemiskinan  sesungguhnya bukan hanya dikonsentrasikan pada upaya peningkatan kesejahteraan semata, melainkan juga untuk membangun karakter (character building) yang mampu membebaskan orang miskin  dari lingkaran  nilai-nilai budaya yang cenderung melestarikan kemiskinan itu sendiri.

Atas dasar seluruh pemikiran di atas, model pelaksanaan pengentasan kemiskinan ini akan menggunakan pendekatan Participatory Action Research. Prinsip dasar dari pendekatan ini adalah ada proses apa yang sering disebut “learning by doing”. Seluruh perencanaan dan program pengentasan kemiskinan akan  dilakukan secara bersama-sama dengan masyarakat miskin itu sendiri. Dalam rangka melakukan rencana itu semua ada beberapa hal  yang akan dipersiapkan sebagai agenda kegiatan.

P3M (Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat) adalah sebuah LSM yang sejak awal tahun 1980 lalu secara serius melakukan berbagai kegiatan di masyarakat, dalam rangka meningkatakan harkat dan martabat warga, baik dibidang pendidikan, ekonomi, dan peningkatan wawasan yang berkaitan dengan sikap moderasi sebagai pijakan utama. Karena dengan sikap seperti inilah maka warga masyarakat akan secara sadar mengakui atas perbedaan dan keragaman yang terjadi di masyarakat.

P3M memiliki visi Humanis yang menempatkan manusia sebagai landasan dan tujuan, problem kemanusiaan, pembelaan terhadap yang lemah, kemanusiaan yang universal, inklusif dan pluralis. Kritis, mengedepankan dialog, konstruktif dan rekonstruktif, reflektif, dan progresif. Transfomatif, berorientasi pada perubahan secara demokratis, pemberdayaan, dan adanya rekayasa perubahan. Praksis, tindakan nyata, melibatkan masyarakat, advokasi untuk perubahan melalui jalur kultural dan struktural, serta menjauhi cara-cara kekerasan.

Prioritas issu yang ditangani oleh program P3M antara lain adalah pemiskinan dan peminggiran, kebijakan publik, kerusakan lingkungan, terorisme dan kebencian, konflik sosial, korupsi, intoleransi dan kekerasan, ketidakadilan jender dan diskriminasi hak-hak minoritas. Issu-issu di atas dimasukkan ke dalam 3 (tiga) buah program yakni Pendidikan dan Diseminasi Gagasan, kedua Advokasi Kebijakan dan Kelembagaan dan yang ketiga, Pengembangan Masyarakat.

Tujuan Program
Tujuan Umum:
Melakukan pembebasan masyarakat miskin dari kemiskinan konvensional (keluar dari kondisi subsistennya) yang tidak hanya bersifat agregat,  tetapi juga, memposisikan masyarakat miskin untuk memiliki: harga diri (self esteem), kemuliaan (dignity), kemandirian (independence), pengakuan (recognition) dan kebebasan (freedom) dari segala bentuk keterbelakangan dan eksploitasi, dengan memanfaatkan Masjid sebagai basis kegiatannya.
Tujuan Khusus :
·      Mengoptimalkan fungsi masjid sebagai agen pengentasan kemiskinan.
·      Membangun perluasan kesempatan kerja atau akses usaha bagi masyarakat miskin di perdesaan dan  di perkotaan.
·      Melakukan penguatan kelembagaan masyarakat sebagai landasan kerjasama guna menolong dirinya sendiri.
·      Optimalisasi sumber daya lokal sebagai landasan peningkatan pendapatan.
·      Penguatan kapasitas permodalan usaha baik melalui  penguatan lembaga keuangan mikro, maupun pengembangan kelompok usaha bersama.
·      Meningkatkan kemampuan akses dalam peningkatan produksi, pemetaan pasar, dan stabilitas harga. 
·      Melakukan pemberdayaan masyarakat  dalam membangun kemandirian dan kesejahteraan.
·      Meningkatkan kapasitas dan sumber daya manusia sebagai upaya peningkatan keterampilan yang dibutuhkan.
·      Peningkatan kemampuan akses kontrol pemasaran melalui pengembangan jaringan pemasaran dan penguatan kebijakan pengendalian pemasaran. 

Strategi Program
1.  Mengoptimalkan lembaga keagamaan sebagai agen pengentasan kemiskinan, melalui  reintrepretasi dan pemahaman agama yang peka terhadap problem kemiskinan sebagai problem moral dan kemanusiaan serta melakukan penguatan kelembagaan.
2.  Menggembalikan social capital (trust, reciprocity, net work relation, solidarity) yang terdapat dalam tradisi sebagai strategi pengentasan kemiskinan yang ada, khususnya dalam melakukan kerjasama guna menolong diri sendiri dan masyarakatnya.
3.  Melakukan revitalisasi lembaga-lembaga sosial yang berakar di pedesaan dan perkampungan kumuh diperkotaan sebagai agent pemberdayaan.
4.  Membangun kemudahan akses ke berbagai sumberdaya informasi, pendanaan, maupun pasar dan penggambil kebijakan bagi keperluan pemberdayaan.
5.  Memposisikan orang miskin sebagai subyek terhadap kemiskinan yang dihadapi, dengan memberi peluang untuk melakukan diagnosa terhadap masalah yang dihadapi; merencanakan tindakan yang akan dilakukan; melaksanakan program yang telah disusun; melakukan evaluasi dan analisa kritis bersama dengan peneliti yang mendampingi.

Referensi : berbagai media

0 comments:

Post a Comment